Perppu Mahkamah Konstitusi, Bom Waktu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi III (Bidang Hukum) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai keberadaan tim panel ahli dalam mekanisme proses seleksi dan pencalonan hakim konstitusi berpotensi mengganggu praktik ketatanegaraan.
"Keberadaan tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga negara ini tidak bisa dibenarkan karena potensi mengganggu praktik ketatanegaraan," katanya menjawab pertanyaan Antara dari Semarang, Jumat pagi, terkait dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK).
Di sela kunjungannya ke sejumlah kota di China, Eva mengemukakan bahwa Perppu MK yang mengatur pula pemilihan hakim konstitusi dengan melibatkan panel ahli itu berpotensi buruk. Hal ini akan mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan tersebut sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto di Istana Yogyakarta, Kamis (17/10) malam, mengatakan bahwa mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik, yang tercantum pula dalam Pasal 19 UU MK.
Untuk itu, kata Menko Polhukam, sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Panel ahli beranggotakan tujuh orang yang terdiri atas satu orang diusulkan oleh MA; satu orang diusulkan oleh DPR; satu orang diusulkan oleh Presiden; dan empat orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
Lebih lanjut Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI mengatakan bahwa tim seleksi (timsel) oleh Komisi Yudisial itu bisa berfungsi sebelum "short list" masuk ke Mahkamah Agung, DPR, maupun Presiden.
"Praktik yang lazim seperti pemilihan hakim MA. Akan tetapi, `final decision` (keputusan akhir) tetap di DPR, MA, dan Presiden," katanya.
Sejak revisi UU, kata Eva, keberadaan lembaga-lembaga negara setara, tidak ada yang lebih tinggi, apalagi proses pemilihannya tidak melalui proses demokrasi atau melibatkan rakyat secara langsung.
"Perppu sepatutnya tetap dibuat dalam koridor penghormatan prinsip keterpisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif," ucapnya.
Maka, lanjut dia, sebaiknya Perppu hanya dibuat dalam situasi mendesak sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan, bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai, misalnya, wewenang yudikatif dan legislatif yang diserobot eksekutif.
Ia menegaskan bahwa pemilihan hakim konstitusi sudah diatur di dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 24C Ayat (6), yakni pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan UU.
"Jadi, menurut saya Perppu sepatutnya ditolak oleh DPR karena isinya tidak sesuai dengan UUD 1945 dan situasi `emergency` tidak berdasar mengingat kasus sudah ditangani secara hukum atau oleh KPK. Dengan demikian, tidak perlu penyelesaian politik," katanya dari China.
Menyinggung perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi, Eva memandang perlu tetapi tidak mendesak.
"Hal itu bisa diatur di dalam revisi UU MK. Akan tetapi, alasan yang lebih struktural adalah alasan keberadaan Perppu yang melanggar UUD RI 1945," kata Eva.
Hendardi: Tidak Perlu Ada Perppu Mahkamah Konstitusi
Ketua Setara Institute, Hendardi, berpendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak perlu mengeluarkan Perppu Mahkamah Konstitusi.
"Tanpa Perppu martabat MK bisa pulih," kata Hendardi dalam keterangannya, Kamis (17/10/2013), malam. Diberitakan sebelumnya meskipun ditolak berbagai pihak akhirnya Presiden SBY mengeluarkan Perppu
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24 tentang MK yang telah ditandatangani Presiden SBY.
Menurut Hendardi, kelambanan SBY merespons peristiwa telah menghilangkan alasan kegentingan memaksa sebagai dalil keabsahan sebuah Perppu.
"Apalagi materi Perppu tidak mengandung muatan konkret yang menuntut penegakan langsung," kata Hendardi. Kalau soal syarat hakim, menurut Hendardi, mekanisme seleksi tidak perlu dengan Perppu.
"Soal pengawasan, implementasi Perppu juga membutuhkan waktu lama, di mana MK telah membentuk MKHK ad hoc yang secara berangsur bisa memulihkan kepercayaan publik," kata dia.
Lanjut Hendardi, penerbitan Perppu adalah model lama pencitraan politik SBY mengambil untung di tengah kisruh dan ketegangan situasi politik.
"Bahkan dengan Perppu SBY justru memantik kekisruhan baru, jika DPR RI menolak dan/atau diujimaterialkan di MK," kata Hendardi. (Antara/berbagai sumber)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...