Perppu SBY untuk Mencuci Wajah yang Tercoreng Caci Maki
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan ketika disahkannya berbagai kebijakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merampas demokrasi milik rakyat, di mana ujungnya ia mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang), bahwa itu sebenarnya adalah sandiwara untuk mencuci wajahnya yang telah tercoreng dengan caci maki rakyat.
“SBY dengan Partai Demokrat (PD) mencoba membuat asumsi bahwa mereka setuju terhadap Pilkada langsung dengan 10 syarat, apabila opsi 10 syarat itu tidak dilaksanakan maka pemilu langsung itu tidak boleh jadi. Itu aneh, ada orang yang tega membuang batang untuk memelihara bunga, 10 syarat itu hanya bunga, bukan batang. Sedangkan akarnya itu adalah pilkada langsung, bagaimana mungkin melaksanakan 10 opsi itu jika pilkada langsung tidak ada? SBY lebih memilih memelihara bunga daripada batangnya,” kata Ray Rangkuti.
Pendapat tersebut disampaikannya pada orasinya di mimbar bebas bertema "Darurat Demokrasi: Jangan Biarkan Demokrasi Mati dengan Tenang, Hanya Satu Kata... Lawan!", di halaman kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (8/10).
Dikatakan Ray, orang-orang seperti itu, jangankan untuk mengembangkan demokrasi, bahkan untuk memeliharanya saja tidak bisa. Demokrasi yang telah diperjuangkan anak-anak muda tahun 1998, dijadikan argumen untuk kemudian mencederai demokrasinya dari dalam.
“Sekarang semakin terlihat siapa yang sesungguhnya memperjuangkan demokrasi, partai bermain sedemikian rupa, partai (Demokrat, Red) yang sebelumnya sudah ditolak ide-idenya (oleh Koalisi Merah Putih atau KMP, Red) tetapi malah bergabung dengan koalisi yang sudah menolak ide mereka. Tidak ada penjelasan yang masuk akal kecuali partai-partai ini tidak sedang memperjuangkan demokrasi, melainkan memperjuangkan status politik mereka masing-masing dengan mengatasnamakan demokrasi,” ungkap Ray
YLBHI sendiri punya sejarah sebagai rumah berkumpul bagi demokrasi, perjuangan mempertahankan demokrasi, dan rumah bagi para aktivis yang menginginkan demokrasi terjadi di Indonesia. Kondisi politik saat ini sebetulnya pertanda, bahwa ada kelompok yang mencoba membalikan demokrasi yang telah dinikmati selama 15 tahun, menjadi ke era orde baru.
“Kalau anak-anak muda tahun 1990-an meyakini bahwa demokrasi ini bisa diraih dengan segala cara, dan itulah yang terjadi. Pemerintah yang selalu membawa argumen tentang revolusi, ternyata justru dijatuhkan oleh rakyatnya (rezim Soeharto),” ucap Ray.
“Hidup rakyat,” seru Ray menutup orasinya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...