Pertamina Kembangkan Shale Gas yang Tak Ramah Lingkungan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sejumlah zat berbahaya mengancam kesehatan dan lingkungan, akibat adanya eksplorasi berlebihan, serta menyebabkan penurunan kualitas air tanah. Hal ini tercermin dalam siaran rilis resmi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang dirilis pada Senin (15/7). Menurut capp.ca Shale adalah gas alam yang ditemukan di lapisan paling dasar dari batuan sedimen di bawah tanah karena terbentuk dari tekanan yang termampatkan di bawah tanah di antara bebatuan.
Hal ini membuatnya sulit terurai, dan sulit ditembus (non permeable) air, sehingga air tidak bisa terserap tanah dengan maksimal. Alhasil, untuk ekstraksinya digunakan proses yang dikenal dengan peretakan (hydraulic fracture atau fracking).
Sebelumnya pada 15 Mei 2013, PT Pertamina (Persero) menandatangani kontrak PSC Migas Non Konvensional Sumbagut, yang merupakan PSC MNK pertama di Indonesia sekaligus menempatkan Pertamina sebagai pionir untuk pengembangan shale gas di Tanah Air.
Menurut Pius Ginting, manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi, air limbah tambang shale gas telah terkontaminasi dengan bahan kimia perekahan dan bahan polutan alami seperti logam berat, nantinya muncul ke permukaan tanah, dan nantinya setiap sumur produksi menurun setelah 18 bulan karena konsentrasi gas menurun.
“Akibatnya operator membuat lubang lain di sekitar yang pertama. Setelah itu lalu akan berulang dengan lubang-lubang yang lain, sehingga kualitas air tanah terancam buruk.” ujar Pius Ginting.
Di samping itu, Pius melanjutkan, investasi shale gas menghambat pengembangan energi terbarukan. Dengan memulai eksplorasi shale gas, Pertamina dan perusahaan migas lain akan membuat Indonesia terus-terusan bergantung kepada energi fosil, dan tidak terbarukan seperti slogan yang diciptakannya.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA) untuk membentuk lapangan gas hanya butuh kurang dari satu sumur per 10 km persegi, tapi lapangan gas yang tidak biasa membutuhkan lebih satu sumur.
Pius Ginting mengatakan bahwa ekstraksi shale gas membutuhkan air banyak, sehingga menimbulkan ancaman kekeringan daerah sekitarnya, terlebih pada musim kemarau.
“Cairan kimia fracking bisa terdiri dari 300 bahan berbeda-beda, dimana 40% diantaranya dikenal mengganggu sistem hormonal, sepertiganya penyebab kanker, dan 60% diantaranya dapat merusak otak dan sistem saraf.” pungkas Pius.
Walhi menilai, sebagai perusahaan negara, seharusnya Pertamina menjadi terdepan dalam pengembangan energi terbarukan agar target pemerintah untuk pengurangan emisi gas rumah kaca bisa tercapai. Pengembangan shale gas perlu dikaji ulang atau dibatalkan.
Padahal menurut pertamina.com, Pertamina berusaha menjadikan shale gas sebagai potensi sumber daya mineral yang besar, dan sebagai energi alternatif
“Kelak Shale Gas ini bisa mendukung Pemerintah untuk melakukan diverifikasi energi di Indonesia sehingga ketergantungan terhadap minyak dapat dikurangi.” ungkap Karen.
Editor : Yan Chrisna
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...