Pertempuran Militer dan Kelompok Etnis Meluas, 286.000 Warga Myanmar Mengungsi
YANGON, SATUHARAPAN.COM-Meningkatnya konflik antara militer Myanmar dan kelompok etnis yang mencari otonomi kini menjadi “skala terbesar dan terluas secara geografis sejak kudeta tahun 2021,” menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).
Lebih dari 286.000 orang telah meninggalkan rumah mereka sejak aliansi tentara etnis melancarkan serangan di Negara Bagian Shan bagian utara pada akhir Oktober, kata badan PBB itu dalam sebuah laporan. Pertempuran tersebut kemudian menyebar ke wilayah lain, menewaskan 187 warga sipil dan melukai 246 lainnya, katanya.
“Bentrokan bersenjata telah meluas ke lebih banyak wilayah, termasuk pusat kota yang padat penduduknya, sehingga menimbulkan risiko yang lebih tinggi terhadap keselamatan dan keamanan penduduk sipil di seluruh negeri,” kata badan tersebut.
Bentrokan tersebut, yang sebagian terjadi di dekat perbatasan dengan China, telah memicu seruan dari Beijing untuk melakukan gencatan senjata dan menggambarkan tantangan yang dihadapi junta Myanmar dalam mengendalikan negara tersebut hampir tiga tahun setelah kudeta.
Penjabat pemimpin pemerintahan di pengasingan Myanmar, Duwa Lashi La, mengatakan pada bulan September bahwa pasukan perlawanan menguasai sekitar 60 persen wilayah negara Asia Tenggara tersebut dan siap mengancam junta di benteng-benteng utama.
Rute transportasi utama di kota-kota tempat terjadinya pertempuran telah diblokir oleh militer dan kelompok pemberontak, sehingga menjebak ratusan orang, kata PBB. Dengan ditutupnya beberapa jalan, saluran air, dan bandara di tengah berlanjutnya gangguan layanan telekomunikasi, pergerakan orang dan barang-barang penting menjadi sangat terbatas, katanya.
Kelompok perlawanan mengatakan mereka telah merebut banyak pangkalan junta dan beberapa kota di dekat perbatasan dengan China. Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang baru-baru ini menuduh militer menggunakan “gas beracun selama serangan di dekat sebuah kota di Negara Bagian Shan bagian utara, sebuah tuduhan yang dibantah oleh media pemerintah.”
Kekerasan semakin meningkat ketika militer Myanmar yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing, menghadapi lemahnya perekonomian dan meningkatnya tanda-tanda perbedaan pendapat dalam rezimnya, berjuang untuk mengimbangi konflik multi-front dari kelompok etnis bersenjata.
“Kami percaya ini adalah langkah penting pertama menuju pemerintahan yang lebih stabil, terinformasi dengan baik, dan efektif,” katanya. (Bloomberg)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...