Pertunjukan Teater di Panggung ART|JOG|10 – 2017
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Panggung pertunjukan berbentuk dome melengkapi ART|JOG|10 2017 di Jogja National Museum memberikan warna baru penyelenggaraan Art Jog. Sebanyak 62 pementasan meliputi musik, teater/performance art, tari, screening film digelar setiap hari selama sebulan penyelenggaraan ART|JOG|10. Panggung pertunjukan menjadi ruang yang benar-benar dimanfaatkan oleh seniman muda di Yogyakarta dengan karya terbaru mereka.
"Kedepannya selain panggung pertunjukan, booth kuliner akan kami buka lebih banyak lagi untuk memeriahkan Art|Jog." kata Heri Pemad kepada satuharapan.com beberapa waktu lalu saat jumpa pers Jumat (12/5). Lebih lanjut Pemad menjelaskan bahwa panggung pertunjukan, booth merchandise, dan booth kuliner semata-mata untuk melengkapi karena fokus Art Jog tetap pada pamerankarya seni rupa di ruang pamer utama.
Panggung pertunjukan menjadi tempat bagi seniman muda mempresentasikan karya terbarunya ataupun eksperimentasi karya-karyanya. Kinanti Sekar Rahina misalnya dengan pementasan tari "Pandonga" Sabtu (3/6) malam yang menjadi kelanjutan dari tari ritual adat "Mitoni" yang pernah ditampilkan di Omah Petruk, Karang Klethak beberapa waktu lalu.
Performance art yang sebagian diisi dengan teater menampilkan enam pementasan diluar "Setan Jawa" yang dipentaskan di sepanjang ruang pamer utama selama preview karya pada tamu undangan dan media Jumat (19/5) sore.
Performance art di panggung Art Jog mulai dipentaskan pada Sabtu (20/5) malam dengan menampilkan "Sishyphus" karya Melati Suryodarmo. Pada Jumat (26/5) ditampilkan tiga performance art diawali dengan "Tubuh dan Identitas" karya Galuh Tulus Utama, "Dhull..." karya Komunitas Stupa dan "Manusia Portabel" karya Ari Ersandi.
Jumat (2/6) malam panggung Art Jog kembali menggelar performance art menampilkan "Genosida dan Sui Phobia" karya Rendra Bagus Pamungkas dilanjutkan dengan pentas tunggal seniman teater Tony Broer membawakan karya berjudul "Tubuh, Laut, Perang".
"Genosida dan Sui Phobia" menjadi eksperimen Rendra Bagus Pamungkas merespon panggung Art Jog yang hampir-hampir tidak berjarak dengan penonton. Rendra menyusun naskah karya pementasan bersama teman-temannya berangkat dari kegelisahan yang dalam atas realitas dan kondisi bangsa akhir-akhir ini. Sebagai orang beragama, situasi saling tuding dan membenarkan tindakan masing-masing menjadi semacam 'pemberangusan' pengetahuan untuk saling menghormati.
"Genosida dan Sui Phobia" ditampilkan dalam sebuah narasi puisi yang dibacakan sepanjang pertujukan diikuti dengan performance art. Sebait pusi mengawali pementasan "Genosida dan Sui Phobia" karya Rendra Bagus Pamungkas: "...kita saling belajar memanah, menjadi ikan dan berkuda. ||Kita berpakaian sama, tetapi tidak saling mengenal meski kampung kita hanya dipisahkan alang-alang sehasta.||Saat pekik tong-tong berguling jadi perisai, aku menyaksikan keduanya saling membenci... "
"Saya tidak tahu pasti siapa yang menyulut persoalan kali pertama dan apa tujuan besarnya. Saya bukan politisi, saya seniman. Ketika nilai-nilai "ke-manusia-an" diusik dan bahasa sehari-hari sudah tiarap, maka saya bersama teman-teman akan mencari jalan lain untuk bersuara lebih keras, dalam dunia yang lain." kata Rendra kepada satuharapan.com sesaat setelah pementasan "Genosida dan Sui Phobia" Jumat (2/6) malam.
Dalam pentas tunggalnya, Tony Broer mengawali repertoarnya dari booth merchandise Art Jog dengan sebuah drum bekas bercat merah. Kehadiran Tony dari area booth merchandise menjadi penyekat yang rapi bagi pementasan sebelumnya. Dalam keadaan stage yang gelap, penonton lebih tertuju pada penampilan Tony yang memainkan drum dengan berbaju setelan jas lengkap dengan dasi namun mukanya ditutupi kain seperti mummy. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh penampil sebelumnya untuk meninggalkan panggung hampir-hampir tanpa sepengetahuan penonton.
Penyekatan yang rapi dengan menarik dua pemain penampil sebelumnya ke arah booth merchandise menjadikan dua repertoar tersebut seolah sebuah pementasan yang menyatu, terlebih ketika cerita yang dibawakan dalam dua repertoar memiliki tarikan napas yang hampir sama: perang, genosida, dan segala bentuk kekerasan sesungguhnya adalah pengingkaran dari nilai kemanusiaan itu sendiri.
Olah tubuh Tony Broer sepanjang repertoar adalah gambaran seniman teater yang rutin berolahraga fisik sekaligus mengasah pikiran. Tony Broer memanfaatkan seluruh potensi panggung yang ada termasuk mengajak penonton berinteraksi dan terlibat dalam pementasannya. Menjadi menarik ketika Tony Broer memasukkan unsur multi-media melalui LCD proyektor melengkapi pementasannya sekaligus memberikan narasi atas naskah "Tubuh, Laut, Perang".
Tony Broer mengakhiri penampilannya dengan membawa lima tangkai bunga. Tiga tangkai bunga dilemparkan ke arah penonton sementara dua tangkai dibawanya dan ditaruh pada cawan penuh air.
Bunga itu berwarna hitam.
Jorge Martin Juara MotoGP 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pembalap Prima Pramac, Jorge Martin merengkuh gelar juara MotoGP 2024, us...