Berburu Karya dan Merchandise Unik di Kantong-kantong Seni
Menggali Potensi Lain Wisata Yogyakarta
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Karya seni (rupa) identik dengan harga mahal dan hanya bisa didapatkan pada galeri/ruang pamer saat sedang berlangsung pameran ataupun pada balai lelang untuk karya lukisan/patung karya seniman-seniman terkenal.
Karya seniman ternama sifatnya yang eksklusif, nilai seni, material, serta berbagai faktor lainnya membuat sebuah karya menjadi sangat mahal bagi masyarakat umum. Sebuah lukisan dengan harga diatas 100 juta rupiah bagi masyarakat awam akan berpikir ulang untuk sekedar membeli atau mengoleksinya.
Menyiasati hal tersebut, banyak seniman/perupa di Yogyakarta me-repro desain karya seninya dalam bentuk lain. Pendiri Survive! Bayu Widodo contohnya, membuat berbagai karya drawing-nya dan dibuat dalam berbagai skala untuk dapat dicetak dalam berbagai media semisal pada tote bag ataupun kaos dengan desain dan warna yang sama persis dengan karya aslinya. Dengan perbanyakan dalam jumlah terbatas, Bayu masih tetap memiliki karya masternya sekaligus berbagi karya seninya pada masyarakat luas.
Bayu Widodo sendiri mereproduksi beberapa karyanya (drawing, sketsa, cukil kayu) dengan teknik sablon screen pada kaos yang dikerjakan sendiri sehingga warna cetakan bisa seperti lukisan aslinya. Kaos ataupun produk cetakan lainnya yang dihasilkan seolah menjadi kanvas dalam dimensi yang berbeda bagi Bayu.
Hal yang sama dilakukan perupa Patub Porx dengan ciri khas produk kaos oblong tanpa lengan dengan sablonan desain drawing-nya. Ataupun Muhammad Yusuf dengan Taring Padi yang banyak mereproduksi karya cukil kayu (woodcut) hingga saat ini memiliki penggemar khusus atas desain karya yang banyak mengangkat isu-isu sosial lingkungan.
Print making, teknik cetak desain grafis secara manual dalam memperbanyak karya seni hingga saat ini masih dilakukan oleh New Miracle Prints yang mencetak banyak desain cukil kayu, cetak saring (sablon), stensil, serta cetak lainnya. Perkembangan digital printing tidak menyurutkan mereka untuk membuat karya grafis manual dengan berbagai teknik: cetak tinggi, cetak datar maupun cetak saring.
Ditemui satuharapan.com Kamis (25/5), Ria Novitri pemilik New Miracle Prints di Jalan Suryadiningratan menjelaskan bahwa produk seni grafis memiliki pangsa pasar yang cukup menjanjikan.
"Sejak pindah ke sini, New Miracle Print telah menjual lebih dari delapan karya seni cetak grafis." kata Ria.
Produk seni grafis secara umum terbagi dalam dua kategori yakni merchandise dan karya. Merchandise adalah produk seni grafis yang dicetak secara massal dalam jumlah cukup banyak hingga mencapai ratusan, sementara karya lebih pada produk seni grafis yang dicetak dalam jumlah terbatas. Misalnya, sebuah karya dalam bentuk hiasan dinding dengan teknik cetak drypoint biasanya hanya dicetak lima buah karya.
Dengan jumlah yang dicetak tersebut, harga merchandise dan karya berselisih cukup besar meskipun masih dalam jangkauan masyarakat umum untuk harga sebuah karya seni.
"Kami menjual karya cetak grafis mulai 500 ribu rupiah untuk karya-karya yang dicetak dibawah lima edisi. Untuk yang dicetak diatas 10-30 edisi, harganya mulai 300 ribu rupiah. Tapi itu juga tergantung ukuran, bahan, kualitas pengerjaan, dan pengemasan akhir." lebih lanjut Ria menjelaskan.
Harga karya tersebut merupakan harga pasaran di New Miracle Prints untuk karya cetak grafis dengan media kertas dalam ukuran maksimal A4. Untuk ukuran yang lebih besar, tentu harganya berbeda. Sebuah hiasan dinding berbahan kain dengan teknik pencetakan cukil kayu (woodcut) ukuran 25 cm x 80 cm dijual Rp. 600.000/buah. Sementara merchandise dijual dibawah Rp 300.000/buah. Satu set kartu pos berisi 3 lembar dengan desain unik dan cetakan terbatas dijual Rp 35.000/set.
Merchandise masih menjadi pilhan konsumen. Alasan utamanya adalah untuk oleh-oleh yang unik dengan harga terjangkau. Jika dibelikan karya untuk oleh-oleh tentu lebih banyak jumlahnya jika dibelikan merchandise.
Pasar wisatawan dari manca negara masih mendominasi pembelian merchandise-karya seni cetak grafis. Pada print making fair dalam pameran "Jogja Edition" di Sangkring art project, NMP bersama seniman cetak grafis lainnya sempat kehabisan stok merchandise yang diborong oleh rombongan wisatawan dari luar negeri (Singapura).
"Untuk karya, pembelinya lebih banyak wisatawan manca negara yang tinggal di homestay sekitar NMP. Saat mereka lewat beberapa dari mereka tertarik melihat karya yang kita display. Ketertarikan tersebut biasanya berlanjut dengan membeli karya yang ada. Kebanyakan berukuran kecil (setengah A4)." kata Ria. Alasannya selain dari desain juga kemudahan membawanya. Untuk karya seni grafis, NMP menawarkan yang masih belum dikemas dengan pigura ataupun yang sudah dilengkapi dengan pigura.
"Yang sudah berpigura harganya mulai Rp 800.000/karya. Sementara yang tanpa pigura mulai dari Rp 500.000/karya tergantung ukuran, desain, teknik pencetakan, bahan, jumlah pencetakan. Semakin rumit, unik, dan jumlahnya sedikit, harga karya semakin mahal." tandas Ria.
Pasaran Survive! Mendekatkan Anggota Komunitas dengan Pasar
Ada pola menarik dalam pameran yang digelar oleh galeri/studio/komunitas seni di Yogyakarta dalam dua tahun terakhir. Survive! garage bersama fan familia dalam dua tahun terakhir menggelar Pasaran Survive! melengkapi pameran yang mereka gelar.
Bayu Widodo kepada satuharapan.com Minggu (21/5) menjelaskan bahwa Pasaran Survive! adalah ruang bagi anggota fan familia dan juga masyarakat luas untuk bisa berbagi apapun: ide, pemikiran, karya. Dengan adanya Pasaran Survive! melengkapi pameran yang sedang berlangsung diharapkan tumbuh dialog diantara mereka yang terlibat maupun dengan masyarakat.
"Rencananya dilaksanakan secara berpindah-pindah bergantian di tempat-tempat komunitas. Pengunjung selain bisa mendapatkan merchandise, kegiatan ini untuk mempererat jaringan kekeluargaan di fan familia sekaligus menjaga semangat serta agar tidak terjadi kejenuhan. Untuk sementara tempat di Survive!garage dimaksimalkan dulu." kata Bayu.
Pada Pasaran Survive! kali ini animo masyarakat sekitar terhadap penyelenggaraan Pasaran Survive! cukup bagus. Masyarakat sekitar berharap Survive!garage menggelar acara serupa secara reguler.
"(Diluar dugaan) Kuliner cukup banyak pembelinya. Saat berlangsungnya Pasaran Survive!, ibu-ibu meminta kedepannya acara ini dilaksanakan seminggu sekali. Sementara kami tampung dulu, mengingat untuk mengadakan acara secara reguler perlu energi yang cukup besar." kata Bayu.
Survieve!garage pertama kali menggelar Pasaran Survive! pada 20 Desember 2015 saat masih berada di Jalan Bugisan. Kepindahan mereka ke Kampung Nitiprayan dengan tempat yang lebih luas memberikan keleluasaan mereka membuat berbagai kegiatan. Workshop, diskusi, dan pameran telah mereka gelar hingga saat ini telah berlangsung pameran seni rupa bertajuk Keep the Fire On #3 dengan Pasaran Survive! yang kedua.
Dalam Pasaran Survive! kali ini sebanyak 20 komunitas terlibat. Salah satunya Nurseto Setyawan mahasiswa STSRD Visi Yogyakarta dengan karakter Caks untuk pertama kali ikut dalam Pasaran Survive! dengan membuat kaos, komik kecil, stiker, patch.
"Ini sebenarnya karya tugas saya tentang local hero yang jarang diketahui oleh orang banyak, bercerita tentang seorang aktivis dan seniman yang suka berbagi dan membantu masyarakat yang terkena dampak pembangunan. Karakter tersebut coba saya gambarkan dalam karakter tersebut dan saya produksi dalam berbagai produk cetak grafis." kata Setiawan.
Dalam memasarkan merchandise yang diproduksinya, Setiawan lebih banyak memasarkan lewat daring (online) instagram yang dimilikinya serta "cari bola" langsung ke konsumen. Sebuah patch (sejenis emblem) berukuran 12 cm x 12 cm dengan bahan kain berbordir tepi dan desain yang dicetak dengan teknik cukil kayu dijual Rp. 15.000/patch. Dengan mengikuti Pasaran Survive!, Setiawan mencoba memperkenalkan produk merchandise-nya pada komunitas fan familia dan juga masyarakat luas sekaligus mencoba branding karyanya yang berlogo bulan-matahari.
Merchandise dan Karya, Potensi lain Wisata Yogyakarta
Menjual merchandise dan karya seni pada sebuah pameran seni rupa menjadi trend akhir-akhir ini di Yogyakarta. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang awalnya merupakan bursa seni rupa sebenarnya sudah melakukannya sejak pertama kali digelar tahun 1989. Saat masih digelar di Benteng Vredebug, FKY merupakan bursa karya dan merchandise seni rupa terbesar di Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, FKY bermetamorfosis sebagai ruang yang mewadahi seluruh seni. Baru pada penyelenggaraan tahun lalu, FKY kembali mengangkat pameran dan bazaar seni rupa dalam rangkaian acaranya dengan Pameran Perupa Muda (Paperu) di Taman Budaya Yogyakarta. Diluar Paperu, panggung seni dan bazaar merchandise-kerajinan tangan di Taman Kuliner Condong Catur masih menjadi magnet bagi penyelenggaraan FKY. Tercatat pada penyelenggaraan FKY tahun lalu dari 132 stan pameran 60 % dialokasikan untuk booth merchandise.
Art Jog sebagai pameran-bursa seni rupa terbesar se-Asia Tenggara dalam dua tahun terakhir mulai menggarap booth merchandise karya seni sebagai pelengkap pameran. Art|Jog 10-2017 memberikan ruang bagi seniman/pelaku seni untuk memasarkan karya/merchandise seninya semisal DGTMB, Hanan, Natan artspace, Komunitas Minggiran, maupun dari luar Yogyakarta seperti Orbital Dago (Bandung). Rentang harga yang ditawarkan cukup beragam mulai Rp 35.000 untuk sebuah pin, kaos oblong mulai Rp 150.000-Rp 750.000/pc, cangkir mug kecil bercetak gambar seniman van Gogh, Picasso, dll seharga Rp 100.000/mug, patung gypsum karakter superhero Rp. 2.000.000/buah hingga sebuah karya bordir berukuran 1,5 m x 2 m yang ditawarkan diatas 100 juta rupiah.
Bisa dibayangkan, kantong-kantong seni yang tersebar di berbagai wilayah di Yogyakarta diluar acara pameran seni rupa sesungguhnya adalah tujuan wisata lain selain wisata alam dan wisata budaya yang memiliki potensi ekonomi yang patut diperhitungkan oleh para pihak. Mengalami langsung, ini mungkin yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Mengalami membuat batik secara langsung yang bisa dijadikan oleh-oleh, membuat kerajinan tangan, belajar menari, belajar menggambar-melukis, membuat karya seni grafis dengan bantuan pembelajaran dari seniman di sanggar-sanggar seni adalah promosi wisata yang humanis yang mungkin perlu mendapat sentuhan.
Dialog-dialektika yang terbangun antara wisatawan dengan seniman/pelaku-pegiat seni adalah potensi wisata yang humanis yang akan mereka bawa sebagai pengalaman baru: belajar dan mengalami langsung secara bersama.
Bahwa ke Yogyakarta tidak selamanya berkunjung ke Malioboro, Kraton, wisata Kaliurang, wisata pantai, ataupun susur sungai. Masih ada keliling kampung bersepeda, terlebih dengan kantong-kantong seni Yogyakarta, seni-budaya adalah napas Yogyakarta sepanjang masa. Tinggal bagaimana para pihak (stakeholders) berkomitmen menghubungkan dan mendekatkan kantong-kantong seni-budaya tersebut dengan wisatawan dan masyarakat luas, sekaligus menampilkan karya seni-budaya terbaiknya.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...