Perubahan Iklim Rugikan Ratusan Triliun Dolar 2050
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perubahan iklim dan persoalan populasi, bila tidak diantisipasi dengan baik bakal menempatkan 1,3 miliar orang dan aset sebesar 158 triliun dolar AS (Rp 2.137 triliun) dalam bahaya pada tahun 2050, menurut laporan Bank Dunia.
"Dengan perubahan iklim dan meningkatnya jumlah orang di kawasan perkotaan juga mendorong dengan pesat risiko pada masa mendatang," kata Direktur Senior untuk Perubahan Iklim Grup Bank Dunia John Roome dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis (19/5).
Menurut John Roome, sudah seharusnya berbagai pihak terkait mengubah pendekatan kepada perencanaan masa depannya baik untuk daerah perkotaan maupun kawasan pesisir, yang berpotensi mengakibatkan bencana tersebut, dan dapat meningkatkan kerugian secara drastis ke depannya.
Laporan bertajuk "The Making of a Riskier Future: How Our Decisions are Shaping the Future of Disaster Risk", itu menyatakan bahwa sejumlah kota yang padat penduduknya di kawasan pesisir, selalu mengalami penurunan muka tanah dan kondisi itu juga diperparah dengan meningkatnya tingkat ketinggian air laut.
Laporan tersebut, juga memperkirakan bahwa kerugian tahunan di sekitar 136 kota di kawasan pesisir di seluruh dunia bisa melonjak dari 6 miliar dolar (Rp81 triliun) pada 2010 menjadi 1 triliun dolar (Rp 13,529,triliun) pada 2070.
Untuk Indonesia, risiko bencana banjir diperkirakan dapat meningkat hingga sebesar 166 persen, dalam jangka waktu 30 tahun berikut, karena pesatnya perluasan kawasan perkotaan.
Berbagai negara, khususnya yang rentan, diharapkan dapat mempromosikan kebijakan yang mengurangi risiko, dan menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan risiko tersebut.
Sebelumnya, Bank Dunia menyatakan kondisi kelangkaan air yang ditambah dengan fenomena perubahan iklim, merupakan ancaman bagi pertumbuhan perekonomian, karena dapat mengurangi Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
hingga menciptakan konflik suatu negara.
"Kelangkaan air, adalah ancaman besar bagi pertumbuhan dan stabilitas perekonomian di seluruh dunia, dan perubahan iklim hanya membuatnya semakin buruk." kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.
Menurut dia, bila negara-negara tidak mengambil tindakan yang lebih baik dalam mengelola sumber daya alam, maka Bank Dunia menganalisis bahwa kawasan dengan populasi yang besar dapat mengalami periode pertumbuhan perekonomian negatif yang panjang.
Bank Dunia, telah mengeluarkan laporan bertajuk "High and Dry: Climate Change, Water and the Economy" yang menyatakan kombinasi melonjaknya jumlah penduduk dan perumahan, serta perluasan wilayah kota akan mengakibatkan meningkatnya permintaan atas air.
Namun masalahnya, menurut laporan tersebut, masih ada kawasan yang pasokan airnya tidak dikelola dengan baik dan tidak pasti.
Laporan tersebut mencontohkan, sejumlah kawasan di dunia ini yang mengalami kelangkaan air, padahal sebelumnya tidak pernah yakni Afrika bagian tengah dan Asia Timur. Begitu pula terdapat kawasan yang memang sudah kekurangan air sejak lama seperti, Timur Tengah dan daerah di sekitar savana dan gurun Sahara, Afrika.
Lembaga keuangan multilateral itu mengingatkan, kekurangan air dapat meningkatkan risiko konflik, melonjaknya harga pangan serta mendorong migrasi.
Untuk itu, negara-negara diharapkan dapat menjabarkan kebijakan dan investasi untuk mengatasi kelangkaan air, yang mencakup perencanaan yang lebih baik dalam alokasi sumber daya air, dan menerapkan insentif guna meningkatkan efisiensi air, investasi dalam infrastruktur yang bertujuan mengamankan pasokan dan ketersediaan air.
Pembuatan infrastruktur yang memadai, dinilai memang salah satu upaya yang baik bukan hanya dalam mengatasi kelangkaan air, tetapi juga untuk membantu mengatasi permasalahan lainnya seperti kemiskinan.(Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...