Perundung: Tak Mampu Berdamai dengan Diri Sendiri
”Orang yang mengasihi dirinya sendiri, tak akan menyakiti orang lain. Semakin orang membenci dirinya, semakin ia ingin melihat orang lain menderita” (Dan Pearce).
SATUHARAPAN.COM – Kisah perundungan (bullying) di usia anak, remaja, pemuda, tak terhitung jumlahnya. Sampai tahun 70-an perundungan yang direstui masih terjadi di setiap perguruan tinggi Indonesia dalam bentuk perploncoan. Kini memang tidak lagi, namun perundungan masih tetap menjadi persoalan. Orang dewasa juga tidak bebas dari cerita perundungan.
Yang semakin banyak terjadi kini adalah cyber-bullying, perundungan lewat dunia maya. Para remaja dan pemuda adalah korban paling rentan.
Ini merupakan kisah nyata. Seorang gadis bernama Nicole pindah sekolah baru. Pada hari pertama masuk sekolah, kebetulan sekelompok murid datang ke sekolah dengan sisa mabuk-mabukan pada hari sebelumnya, tertangkap, dan dihukum oleh kepala sekolah. Entah bagaimana, Nicole menjadi tertuduh atas kejadian itu dan segera saja mereka mencari tahu bagaimana caranya bisa membalas Nicole. Dua minggu setelah itu tak hentinya semua media maya yang digunakan Nicole penuh dengan kiriman pesan yang menyakitkan: ”tukang ngadu”, ”dasar pelacur”, ”perempuan murahan”, dan masih ada ratusan pesan lainnya. Pesan bernada ancaman, sampai yang bersumpah akan menghancurkan kepalanya, muncul berulang kali.
Lingkaran pembenci Nicole juga bertambah luas karena ia belum cukup dikenal sehingga dengan mudah orang melihatnya sebagai orang asing yang sok cari popularitas di mata pimpinan sekolah. Nicole seperti hidup dalam mimpi buruk sepanjang waktu. Bersyukur Nicole berhasil mengendalikan diri dengan berupaya mengabaikan semua pesan bernada perundungan, dan menghapus nama-nama perundung dari daftar pertemanan di facebook dan media lainnya, sehingga lama-kelamaan perundungan itu berhenti. Nicole bahkan kemudian menjadi duta untuk pelatihan mengatasi perundungan bersama orangtuanya dan mendirikan klub antiperundungan.
Perundungan selalu dilakukan oleh orang yang tidak berdamai dengan diri sendiri. Orang-orang yang tidak menerima diri apa adanya. Kelemahan ditutupi serapat-rapatnya. Mereka khawatir jika orang lain melihatnya, maka ada celah bagi orang itu untuk menyakiti mereka melalui kelemahannya. Karena itu, sebelum terjadi sebaiknya hal sebaliknyalah yang harus dilakukan: carilah kelemahan orang lain, buatlah orang lain tampak lemah di depanmu agar engkau tampak kuat di hadapan orang lain itu.
Orang yang mengasihi diri sendiri, tidak menyakiti orang lain. Orang yang mengasihi diri sendiri bahkan tidak akan merasa perlu menilai orang lain dari penampilannya. Tidak ada kepentingannya karena ia tidak merasa perlu menjadi lebih kuat. Ia pun tidak lebih lemah. Itu tidak relevan. Karena tiap orang memang berbeda. Tak ada orang yang lebih indah dari orang lain, tidak ada orang lain yang perlu dilihat sebagai pesaing. Semua orang itu sama-sama manusia. Titik. Dan karena mereka semua sama-sama manusia yang punya kelebihan maupun kelemahan, maka ia akan menerima kelebihannya sekaligus kelemahannya.
Alangkah pentingnya pola asuh yang membuat anak menghargai diri sendiri. Sehingga kelak ia menerima diri sendiri apa adanya, dengan kekuatan maupun kelemahannya. Ketika anak melihat bahwa ia tidak selalu harus menjadi nomor satu untuk tetap diterima sebagai individu yang berharga di masyarakat, tetap berani menjadi diri sendiri tanpa takut menerima perundungan—atau sebaliknya tetap tidak terdorong untuk selalu ingin menyakiti orang lain—maka ia akan mampu mengasihi sesamanya seperti ia mengasihi diri sendiri.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Natal dan Tahun Baru, Menag: Beri Kesempatan Umat Beribadah ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menekankan pentingnya menciptakan suasana y...