Loading...
EKONOMI
Penulis: Sabar Subekti 12:50 WIB | Sabtu, 29 Maret 2025

Petani Kakao Indonesia dan Pebisnis Atasi Dampak Pahit Perubahan Iklim

Seorang petani memetik buah kakao di perkebunan di Tanjung Rejo, Indonesia, Selasa, 18 Februari 2025. (Foto: dok. AP/Dita Alangkara)

TANJUNG REJO, SATUHARAPAN.COM-Deru gergaji mesin yang keras terdengar di hutan saat sekelompok kecil petani berkumpul di sekitar pohon yang dipenuhi polong biji merah. Dengan satu gerakan pelan, cabang pohon yang patah dan menonjol menyentuh tanah.

"Sekarang, ini akan membantu pohon menumbuhkan buah baru," kata petani Tari Santoso sambil tersenyum.

Ribuan petani kakao di seluruh Indonesia seperti Santoso bekerja sama dengan para pebisnis dan organisasi lain untuk melindungi tanaman mereka dari dampak pahit perubahan iklim dan kurangnya investasi yang telah mendorong harga kakao ke tingkat tertinggi.

Pohon kakao membutuhkan perawatan yang tinggi: Tumbuh hanya di dekat khatulistiwa, pohon ini membutuhkan kombinasi yang tepat antara suhu yang stabil, kelembapan, dan sinar matahari. Diperlukan waktu lima tahun bagi pohon untuk mulai menghasilkan biji yang diolah menjadi kakao yang digunakan untuk membuat cokelat dan makanan lezat lainnya.

Perubahan iklim meningkatkan risiko bagi petani: Cuaca yang lebih panas merusak hasil panen dan musim hujan yang lebih panjang memicu penyebaran jamur dan hama yang mematikan. Pola cuaca yang semakin tidak dapat diprediksi telah mempersulit petani untuk menghadapi tantangan tersebut.

Jadi, petani beralih ke tanaman lain, yang selanjutnya mengurangi pasokan kakao dan mendorong harga lebih tinggi: Pada tahun 2024, harga hampir tiga kali lipat, mencapai sekitar US$12.000 per ton, yang menaikkan biaya cokelat dan mendorong beberapa pembuat cokelat untuk mencoba menanam kakao di laboratorium.

Indonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa, para petani bekerja sama dengan para pelaku bisnis dan organisasi nonpemerintah untuk mengembangkan praktik penanaman yang lebih baik dan meningkatkan mata pencaharian mereka.

Duduk di bawah naungan hutan pertaniannya di Sumatera Selatan, tiga mil (5 kilometer) dari taman nasional tempat harimau dan badak Sumatera berkeliaran, petani Santoso bekerja sama dengan pembuat cokelat Indonesia, Krakakoa.

Setelah mulai bekerja dengan perusahaan tersebut pada tahun 2016, Santoso mulai menggunakan praktik yang membantu pohon kakaonya tumbuh subur, memangkas dan mencangkok cabang baru secara teratur ke pohon yang lebih tua untuk mendorong pertumbuhan dan mencegah penyebaran penyakit.

Ia menggunakan pupuk organik dan telah mengadopsi teknik agroforestri, mengintegrasikan tanaman dan pohon lain seperti pisang, buah naga, kopi, dan lada, ke dalam lahan pertaniannya untuk menumbuhkan ekosistem yang lebih sehat dan berinvestasi pada sumber pendapatan lain.

“Sebelumnya usaha ini tidak terlalu berhasil sebelum kami bertemu Krakakoa,” kata Santoso. “Namun kemudian, kami menerima pelatihan... semuanya menjadi jauh lebih baik.”

Menurut pendiri dan CEO Krakakoa, Sabrina Mustopo, Krakakoa telah melatih lebih dari 1.000 petani kakao di Indonesia. Perusahaan ini juga menyediakan dukungan finansial.

Santoso dan petani lain di Sumatra mengatakan bahwa kemitraan ini membantu mereka membentuk koperasi yang menyediakan pinjaman berbunga rendah bagi petani, dengan bunga yang dibayarkan kembali ke koperasi, bukan ke bank di luar masyarakat.

Petani kakao yang membutuhkan pinjaman lebih besar dari bank milik pemerintah juga mendapat manfaat dari kemitraan dengan bisnis, karena perjanjian pembeli terjamin dapat menyediakan agunan yang diperlukan untuk mendapatkan persetujuan pinjaman, kata Armin Hari, seorang manajer komunikasi di Cocoa Sustainability Partnership, sebuah forum untuk kolaborasi publik-swasta untuk pengembangan kakao di Indonesia.

Puluhan bisnis lain, pemerintah, organisasi nonpemerintah, dan koperasi juga bekerja sama dengan petani kakao untuk mengatasi perubahan iklim dengan lebih baik, yang memberi manfaat bagi ribuan orang, kata Hari. Ia menunjuk pada kolaborasi antara Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia dan divisi lokal pembuat cokelat internasional Mars, yang telah merilis varian kakao baru yang menghasilkan lebih banyak buah per pohon.

Tantangan masih ada, kata Rajendra Aryal, direktur negara FAO untuk Indonesia. Lebih sedikit orang yang melihat pertanian kakao sebagai bisnis yang menguntungkan dan sebaliknya menanam tanaman lain seperti minyak kelapa sawit. Dan banyak petani skala kecil masih tidak bisa mendapatkan pinjaman, katanya.

Namun Aryal mengatakan ia berharap kolaborasi berkelanjutan antara petani dan pihak lain akan membantu. “Jika kita dapat melihat isu-isu utama yang dihadapi (para petani) ini ... Saya pikir sektor ini bisa, sekali lagi, sangat menarik bagi para petani,” katanya. “Terlepas dari tantangan di Indonesia, saya melihat bahwa ada peluang.” (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home