PGI Cermati Otonomi Khusus Papua, Krisis Kepercayaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Otonomi khusus menjadi salah satu hal yang dicermati Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Hal ini dikemukakan Novel Matindas, Kepala Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengatakan kepada satuharapan.com pada Rabu (22/10) di Gedung PGI, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
“Saat ini PGI mencermati lemahnya kepercayaan masyarakat papua kepada pemerintah pusat terutama pada masalah otonomi khusus,” kata Novel.
Novel, sejauh pengamatannya sebagai Biro Papua mempertanyakan pemerintah pusat yang bersikap ambigu, karena walau telah menerbitkan masalah dalam otonomi khusus tersebut saat ini adalah pemerintah pusat yang memberi kewenangan khusus kepada pemerintah daerah akan tetapi banyak sekali peran orang Papua yang justru tidak diperhatikan.
Salah satu contohnya otonomi tersebut yakni disahkannya Otonomi Khusus Provinsi Papua Barat berupa Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2008, yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) kala itu, Mardiyanto. Akan tetapi saat ingin memberikan satu calon untuk wakilnya sebagai pimpinan di parlemen malah digugurkan pemerintah.
“Mereka merasa dalam banyak hal, mereka menjadi korban berbagai tindakan ketidak adilan pemerintah pusat,” Novel melanjutkan.
Keprihatinan pada persoalan Papua yang sangat kompleks menjadi salah satu perbincangan dalam study meeting sidang tahunan MPL (Majelis Pekerja Lengkap) PGI yang kemarin (16/01) dibuka resmi di Merauke. Pemilihan Merauke, wilayah paling Timur dari Indonesia sebagai lokasi sidang MPL-PGI tahun ini, juga dilandasi keprihatinan tersebut.
Sebab masalah Papua sudah lama jadi sorotan, baik dalam lingkup internasional maupun nasional. Wilayah yang memiliki sumberdaya alam luar biasa kaya itu, ironisnya, justru menempati posisi paling terbelakang dan miskin di antara provinsi lain di Indonesia. Padahal dana yang luar biasa besar sudah digelontorkan ke Papua lewat kebijakan Otonomi Khusus (Otsus).
Ini diakui Agustina Basikbasik, anggota DPR-RI yang hadir menjadi narasumber di sidang MPL-PGI. “Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat di Papua sekarang memang makin terpuruk,” ujarnya. “Mulai dari kualitas pendidikan terus merosot, yang membuat orang asli Papua tidak mampu bersaing dengan para pendatang, maraknya HIV/AIDS, sampai pelanggaran HAM yang terus terjadi.”
Novel memberi contoh selain dalam masalah otonomi khusus yakni pada ekonomi. “Ketidakadilan pada bidang ekonomi dapat dicermati di sektor perdagangan kurang diperhatikan pemerintah pusat,” kata Novel.
Novel menambahkan bahwa masalah pada bidang ekonomi yakni mendapat tempat tersendiri untuk berdagang.
“Orang papua membutuhkan aksi afirmasi dari masyarakat papua untuk berdagang, karena selama ini perdagangan dikuasai oleh pendatang dan orang papua tersingkir. Sebenarnya untuk orang papua sudah banyak disediakan tempat khusus bagi mereka tetapi tidak permanen mereka minta pasar khusus mereka minta pemberdayaan,” Novel menambahkan.
Keprihatinan pada persoalan Papua yang sangat kompleks menjadi salah satu perbincangan dalam study meeting sidang tahunan MPL (Majelis Pekerja Lengkap) PGI yang berlangsung pada Januari 2014 lalu di Merauke, Papua.
Papua sudah lama jadi sorotan, baik dalam lingkup internasional maupun nasional. Wilayah yang memiliki sumberdaya alam luar biasa kaya itu, ironisnya, justru menempati posisi paling terbelakang dan miskin di antara provinsi lain di Indonesia. Padahal dana yang luar biasa besar sudah digelontorkan ke Papua lewat kebijakan Otonomi Khusus (Otsus).
Ini diakui Agustina Basikbasik, anggota DPR-RI yang hadir menjadi narasumber di sidang MPL-PGI. Agustina mengemukakan, saat itu, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Papua terpuruk dan banyak faktor yang menyebabkan tidak dapat bersaing dengan daerah lain misalnya pada aspek pendidikan, hingga kesehatan, dan lain sebagainya.
Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan otonomi khusus papua, menurut mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan mengemuka terjadi di pemerintah tentang yakni dengan adanya indikasi penyimpangan dana otonomi khusus berdasar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Mei 2014 lalu yakni sebesar Rp. 3 triliun, Rp 1,85 triliun di antaranya, yang seharusnya disalurkan untuk sektor pendidikan, malah didepositokan di bank.
Pemerintah pada 2010 telah mengucurkan banyak dana berkaitan dengan otonomi khusus sebanyak 30 triliun akan tetapi menurut SBY, kala itu hasilnya kurang maksimal.
Editor : Bayu Probo
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...