PGI: Konflik Desa Kariuw Maluku Bukan Konflik Agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia turut berbelarasa dan prihatin mengenai tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap warga Negeri (Desa) Kariuw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, yang menyebabkan mereka keluar dari tanah pusakanya dan menjadi pengungsi di desa tetangga beberapa waktu lalu.
"Persidangan mendesak berbagai pihak untuk tidak melihat konflik ini sebagai konflik agama, tetapi memahaminya sebagai kejahatan kemanusiaan yang menciderai relasi-relasi sosial di Maluku dan dapat berdampak luas (nasional dan internasional), jika tidak ditangani secara tepat," kata Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow dalam keterangan resmi PGI yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Kamis (3/2).
Sebelumnya PGI melaksanakan Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) Tahun 2022 ini di Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, dengan Tuan/Nyonya Rumah adalah Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST).
Sidang yang berlangsung tanggal 28-31 Januari 2022 itu dihadiri oleh sekitar 372 orang pimpinan gereja dan lembaga mitra secara luring maupun daring.
Persidangan ini dimaksudkan untuk berdoa bersama, merayakan kasih dan pimpinan Tuhan bagi gereja-gereja di masa sulit akibat pandemi Covid-19, serta membicarakan kegiatan pelayanan gereja-gereja di Indonesia.
Kali ini, Sidang MPL-PGI bergelut dengan Pikiran Pokok: “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik demi Pemeliharaan Bumi sebagai Sakramentum Allah” dibawah terang Tema: Aku adalah yang Awal dan yang Akhir (bdk. Wahyu 22:12-13).
Pikiran Pokok tersebut ingin menegaskan tiga hal pokok, yang kemudian menjadi Pesan Sidang MPL-PGI 20022, yaitu: spiritualitas ugahari, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sakramentum Allah.
1. Spiritualitas Ugahari
Gereja-gereja anggota PGI berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas ugahari. Pandemi Covid-19 makin menyadarkan gereja tentang betapa pentingnya berugahari. Di hadapan ancaman virus, gereja menyadari bahwa semua manusia adalah makhluk yang terbatas dan rapuh, sekaligus dikaruniai daya untuk bertahan dan menang atas kesulitan. Untuk bertahan dan berhasil, manusia tak dapat melakukannya sendiri.
Manusia membutuhkan sesamanya dan mesti menggunakan sumber daya alam secara bijak. Spiritualitas mapalus dari Sulawesi Utara makin memperkuat nilai hidup saling menopang ini. Keserakahan manusia mengakibatkan rusaknya relasi antar manusia dan merusak pula relasi dengan ciptaan lain. Pandemi sepanjang dua tahun ini menolong kita untuk makin hidup hemat, bertenggang rasa dengan sesama, berbagi sumber daya untuk mampu mengatasi dampak pandemi, dan tidak merusak keseimbangan alam melalui eksploitasi yang tak terkendali.
Spiritualitas ugahari yang bertujuan membangun kehidupan yang adil dan sejahtera hendaknya dapat memelihara harapan dan semangat seluruh warga, khususnya yang selama ini sulit beroleh akses terhadap kehidupan bersama yang adil. Dengan berjuang dan bekerja keras, segenap lapisan masyarakat hendaknya dapat bersinergi dan berkolaborasi memanfaatkan segenap potensi karunia Tuhan yang dapat dikelola bersama untuk kebaikan bagi semua.
2. Keadaban Publik
Secara sederhana, keadaban publik adalah sikap atau perilaku yang menghargai, menghormati dan peduli dengan orang lain, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkan dan melakukannya dalam hubungan sosial dengan orang lain dalam kehidupan masyarakat. Secara politis, dasar dari keadaban publik ini adalah Sila Kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Dasar teologis bagi keadaban publik adalah hukum kasih Yesus Kristus: mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi, serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri (Matius 22:37-39).
Sebagai bagian dari bangsa ini, gereja-gereja di Indonesia memiliki tugas untuk memperkuat kehidupan yang berkeadaban. Dalam hubungan dengan itu, Sidang MPL ini prihatin dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. Untuk itu, Sidang MPL PGI ini mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual guna melindungi perempuan dan anak dari kejahatan kemanusiaan itu. Selain mendorong upaya penegakan hukum, gereja-gereja di Indonesia perlu secara serius melakukan pendidikan budi pekerti, yang mencakup pendidikan terkait teologi tubuh dan seksualitas.
Dalam hubungan dengan itu, Sidang ini juga mendesak DPR dan Pemerintah agar segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Manusia diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah. UU PPRT dibutuhkan untuk memastikan pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat para PRT. Manusia tak boleh diperlakukan sebagai budak. Dengan perlindungan PRT, sebagai kelompok paling rentan dalam relasi kuasa rumah tangga di Indonesia, kita mewujudkan komitmen untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; mulai dari rumah tangga sebagai basis bermasyarakat.
Pokok lain yang berkaitan dengan keadaban publik adalah mengenai pentingnya pendidikan politik bagi warga gereja dan pimpinan gereja. Gereja perlu memainkan peranan penting dalam pendewasaan berdemokrasi di Indonesia, menjadi pilar yang menolak praktek politik uang dan politik sektarian, terutama menuju Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Sidang juga memberi perhatian secara khusus mengenai keadaban publik di ruang virtual. Ruang virtual harus menjadi ruang kesaksian dan partisipasi gereja demi masyarakat yang beradab. Seringkali ruang virtual menjadi riuh oleh debat dan polemik keagamaan yang saling menciderai, baik antar agama maupun antar denominasi dan kelompok. Kegaduhan di ruang virtual tersebut lalu menjadi spirit negatif dalam relasi di ruang fisik.
Keadaban publik berkaitan juga dengan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan manusia. Sidang ini mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk bekerja sama antar gereja anggota, maupun dengan pemerintah dan berbagai mitra lainnya untuk kedaulatan hidup masyarakat, terutama di daerah-daerah yang tertinggal dan rawan dieksploitasi.
Dalam rangka itu, Sidang mendesak pemerintah agar memberikan perhatian terhadap daerah-daerah yg tertinggal dalam aspek ekonomi, pendidikan, dan sumber daya manusia untuk diberikan prioritas dalam program peningkatan kesejahteraan. Daerah-daerah itu, antara lain, daerah perbatasan, pinggiran, dan pedalaman di Papua, Kalimantan, Maluku, NTT, serta Kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sidang MPL turut berbelarasa dan prihatin mengenai tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap warga Negeri (Desa) Kariuw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, yang menyebabkan mereka keluar dari tanah pusakanya dan menjadi pengungsi di desa tetangga.
Persidangan mendesak berbagai pihak untuk tidak melihat konflik ini sebagai konflik agama, tetapi memahaminya sebagai kejahatan kemanusiaan yang menciderai relasi-relasi sosial di Maluku dan dapat berdampak luas (nasional dan internasional), jika tidak ditangani secara tepat.
Belajar dari kekerasan serupa yang terjadi di masa lalu, kita perlu mewaspadai meluasnya konflik, termasuk akibat dieksploitasinya isu-isu keagamaan dan pemilikan senjata ilegal oleh masyarakat sipil. Upaya-upaya rekonsiliasi harus dibangun di atas pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum untuk mencegah impunitas dan keberulangan konflik di masa depan serta mengembalikan warga masyarakat Kariu ke tanah pusakanya.
Sidang MPL juga memberi perhatian serius terhadap kekerasan yang masih saja terjadi di Papua dalam beberapa waktu terakhir ini. Secara khusus, perhatian diberikan kepada korban kekerasan seksual kepada perempuan dan anak, serta terhadap masyarakat luas yang terpaksa mengungsi dari kampung-kampung mereka karena terancam kekerasan bersenjata dalam operasi keamanan.
Kekerasan di Papua akibat konflik berdampak pada pengungsian besar dari empat wilayah konflik di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua dan Kiwirok Pegunungan Bintang. Sidang menyuarakan dan mendesak dialog demi perdamaian menyeluruh di Tanah Papua.
Sidang MPL juga mendorong dihentikannya stigma kepada para pemimpin agama di wilayah konflik sebagai separatis. Pelayanan pastoral mereka dalam kondisi konflik yang melewati batas-batas ideologi politik mesti dihargai.
3. Pemeliharaan Bumi Sebagai Sakramentum Allah
Sidang MPL ini diselenggarakan di Pulau Sangihe yang indah. Masyarakat Sangihe mencintai pulau mereka, namun juga menyadari kerapuhannya, terutama karena ancaman bencana, seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, banjir, dan longsor. Dalam konteks seperti itu, kesadaran akan pemeliharaan bumi sebagai sakramentum Allah menjadi penting.
Sakramen dipahami tanda rahmat Tuhan yang terlihat secara lahiriah oleh manusia. Bumi adalah tanda rahmat Tuhan yang memelihara hidup manusia. Kita berjumpa dengan kemuliaan dan kebesaran Allah di planet ini. Di dalam bumi juga kita menyembah-Nya. Di dalam bumi kita dipelihara Allah. Bumi adalah satu-satunya rumah kita. Semua umat manusia memiliki tanggung jawab iman untuk memelihara bumi.
Bencana beruntun di beberapa tempat di Indonesia belakangan ini mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk memperkuat ketahanan menghadapi bencana.
Dalam hubungan dengan itu sangat penting bagi manusia untuk menahan diri dari keserakahan/kerakusan yang mengeksploitasi bumi. Pemanfaatan sumber daya alam untuk pengembangan ekonomi penting, namun harus dilaksanakan secara bertanggung-jawab untuk kelestarian alam sebagai ciptaan Allah yang mulia.
Dalam kerangka itu, Sidang MPL mendukung perjuangan GMIST, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan berbagai organisasi masyarakat sipil serta masyakat lokal yang menolak pertambangan emas di Pulau Sangihe.
Sidang mendukung visi pemerintah dan masyarakat di Kepulauan Sangihe untuk pembanguan pertanian, perikanan, dan pariwisata demi kesejahteraan masyarakat dan keadilan ekologis. Karena itu, Sidang mendesak Pemerintah untuk mencabut izin pertambangan emas di Sangihe.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...