PGI Tolak Jokowi Tegakkan Hukuman Mati
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Awal tahun 2015 ini, publik Indonesia diramaikan dengan berita eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah warga negara asing. Pro dan kontra pun bermunculan, ada yang setuju, banyak juga yang menolak. Namun, hingga saat ini, Pemerintahan Presiden Joko Widodo tetap kukuh menjalankan eksekusi hukuman mati tersebut, bahkan persiapan di Nusa Kambangan sudah memasuki tahap akhir.
Tanpa bermaksud untuk ikut meramaikan polemik itu, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menyatakan pandangan dan sikap sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada warga gereja dan masyarakat Indonesia. Pandangan dan sikap itu merupakan wujud nyata kehadiran dan pergumulan gereja terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan bangsa.
Dalam siaran pers yang diterima satuharapan,com, di Jakarta, Jumat (6/3), Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI Jeirry Sumampow menyebutkan pandangan itu telah disampaikan kepada Presiden dalam bentuk surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI Pendeta Henriette T Hutabarat Lebang, dan Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom.
Alasan PGI, pertama, gereja-gereja di Indonesia hadir sebagai respons terhadap panggilan Tuhan yang mengaruniakan kehidupan kepada manusia. Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta, dan Pemelihara Kehidupan.
“Karena itu, kami memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap manusia.Kami percaya bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabut kehidupan,” kata Jeirry.
Kedua, menurut dia, PGI paham negara menjalankan dan menegakkan hukum dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat, namun seharusnya hukum yang diterpakan bisa mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat.
“Karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke dalam kehidupan yang bermartabat. Jika hukuman mati dilakukan maka peluang untuk memperbaiki diri menjadi tertutup sama sekali,” ujar Jeirry.
“Dalam perspektif seperti itu, maka praktik hukuman mati merupakan bentuk frustrasi negara atas kegagalannya menciptakan tata kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat,” dia menambahkan.
Selanjutnya Jeirry menjelaskan perkembangan peradaban manusia telah mendorong negara-negara di dunia, menghapuskan hukuman mati. Sehingga, kata dia, terlihat kecenderungan bahwa negara beradab harus mencabut hukuman mati dari sistem peraturan dan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati.
“Hal ini didorong pula oleh keraguan apakah hukuman mati masih memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut,” tutur dia.
Berikutnya, Jeirry menjelaskan dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati sering megalami kekeliruan, tanpa pernah bisa dikoreksi kembali. Kata dia, PGI mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkracht namun ternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut.
“Dalam hal demikian, sangat berisiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata di kemudian hari keliru,” ucap Jeirry.
Terakhir, dia berpendapat sebagai konsekuensi dari ratifikasi konvensi hak sipil dan politik, semestinya Indonesia tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Sebab, kata dia, dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun.
Menurut dia, hal itu telah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup, .... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Jadi Pasal 28 I ayat (1) ini menegaskan bahwa konstitusi kita tak lagi mengizinkan lagi terjadinya praktik hukuman mati dalam negara ini.
“Sayangnya, substansi Pasal 28 I ayat (1) ini belum ditindaklanjuti dalam bentuk penataan regulasi yang terkait dengan itu,” ujar Jeirry.
Editor : Sotyati
60.000 Warga Rohingya Lari ke Bangladesh karena Konflik Myan...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 60.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh dalam dua b...