Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama Tentang Kesetaraan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Piagam Madinah yang dibuat pada 662 M hingga saat ini diakui sebagai konstitusi tertulis pertama yang dibuat oleh manusia. Piagam ini memuat beragam pasal yang seluruhnya mengakomodir perihal kesetaraan dan persaudaraan. Dalam piagam tersebut, umat yang dimaksud tak hanya individu yang beragama Islam semata, namun lebih inklusif, yaitu meliputi berbagai agama dan bangsa yang ada di Madinah.
Kesetaraan kedudukan dalam penyebutan umat di Piagam Madinah ini pada dasarnya membuat hak dan kewajiban setiap umat dipandang sama. Meskipun kala itu Madinah belum berbentuk negara, lebih tepatnya disebut negara kota (polis), namun ide untuk membuat kesetaraan antarumat inilah yang menjadi sesuatu yang langka saat ini.
Paparan di atas menjadi salah satu bahan diskusi buku bertajuk “Fikih Kebhinnekaan: Pandangan Islam Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Islam”. Diskusi yang dihelat hari Jumat (18/9) malam di Aula Kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Di Tiro no. 23, Yogyakarta ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Wawan Gunawan Abd. Hamid Lc., MA., Dr. Zakiyuddin Baidhawy, dan Dr. Zuly Qodir.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Maarif Institute ini secara khusus membedah pemahaman Islam menyoal kondisi bangsa di tengah upaya untuk melihat perbedaan sebagai kekayaan bangsa, bukan dipandang sebagai suatu masalah. Piagam Madinah sebagai konstitusi tentang kesetaraan sengaja dihadirkan sebagai pemantik diskusi.
“Semua umat di dalam Piagam Madinah disebutkan secara spesifik, baik Islam, Yahudi, dan lain sebagainya. Selain itu, pasal dalam Piagam Madinah juga memberikan kebebasan beribadah kepada setiap umat,” demikian dijelaskan oleh Dr. Zakiyuddin Baidhawy.
Di Indonesia, pengakuan adanya perbedaan dan upaya untuk menghadirkan kesetaraan inilah yang kemudian diambil sebagai ruh lahirnya Pancasila. Jika dilihat lebih dalam, Pancasila merupakan titik temu dari semua perbedaan yang ada di Indonesia, mulai perbedaan bahasa, suku, agama, ras, cara pandang, paham, dan lain-lain.
“Pancasila adalah titik temu untuk saling didialogkan agar bisa menjadi kerangka untuk membangun Indonesia. Pancasila juga sekaligus menjadi konsensus yang luar biasa di tengah keberagaman sebagaimana Piagam Madinah,” ujar Direktur Program Pascasarjana IAIN Salatiga ini.
Pembicara lain, Dr. Zuly Qodir menyoroti adanya kesalahpahaman di antara umat di Indonesia. Menurut Zuly, kesalahpahaman tersebut terjadi karena tidak adanya dialog antarumat sehingga bisa dicari titik temu di antara keduanya.
“Seringkali terjadi kesalahpahaman karena kita kurang saling menghargai antarpemeluk agama. Padahal sesungguhnya di masyarakat sudah ada etika sosial yang telah terbangun,” kata Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
Jika upaya untuk saling menghargai dan pengakuan terhadap perbedaan telah terjadi, bahkan perbedaan telah menjadi bagian dari diri, maka persoalan pemimpin muslim atau non-muslim bukan sesuatu yang pantas untuk diributkan lagi. Hal ini karena hukum yang berlaku, dalam hal ini hukum Islam, bersifat fleksibel sesuai dengan situasi, waktu, dan tempat.
“Meskipun dalam Islam hukumnya jelas, pemimpin harus muslim, namun hukum itu bisa berubah sifatnya tergantung situasi, waktu, dan tempat. Inilah yang dimaksud dengan ijtima sosial,” papar Wawan Gunawan Abd. Hamid Lc., MA.
Khusus untuk pemilihan pemimpin, ijtima sosial dilakukan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan hadir dari karakter seorang pemimpin, yaitu adil. Keadilan inilah yang menurut Wawan menjadi pijakan untuk kemajuan, walaupun pemimpinnya non-muslim.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...