PK Berkali-kali Sangat Relevan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - LBH Keadilan menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan permohonan peninjauan kembali (PK) lebih dari satu kali tak perlu dikhawatirkan karena hal itu untuk menggapai keadilan bagi seorang terpidana yang menemukan bukti baru (novum).
"Bagi LBH Keadilan, putusan tersebut tidak perlu ada yang dikhawatirkan," kata Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie, dalam siaran persnya, Jumat (7/3).
Menurut dia, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang tidak bisa menunda eksekusi.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.
"Jadi, jika ada putusan kasasi atas kasus tertentu, bisa langsung dieksekusi," katanya.
Namun demikian, lanjutnya, LBH Keadilan berpendapat penggunaan pasal tersebut jangan digeneralisasi.
"Harus ada pengecualian. Jadi dalam kasus tertentu PK dimungkinkan dapat menunda eksekusi," kata Abdul Hamim.
Praktik PK lebih dari sekali juga sesungguhnya sudah pernah dilakukan Mahkamah Agung antara lain dalam kasus Mochtar Pakpahan dan Pollycarpus.
Bagi LBH Keadilan, di tengah kondisi demoralisasi penegakan hukum, PK berkali-kali sangat relevan.
"Bisa dibayangkan jika ada satu rekayasa kasus, yang kemudian seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati dan tidak bisa mengajukan PK yang kedua, ketiga dan seterusnya. Padahal telah ada bukti baru yang ditemukan. Sungguh telah merampas rasa keadilan seorang terpidana," katanya.
Dia mengatakan demoralisasi penegakan hukum tidak hanya akibat perilaku penegak hukum yang buruk, seperti rekayasa kasus oleh kepolisian, semakin banyaknya hakim dan jaksa yang terjerat kasus korupsi, hakim yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) serta jaksa dan advokat yang terseret kasus suap.
"Tetapi juga buruknya sejumlah peraturan perundang-undangan," kata Abdul Hamim.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar yang menguji Pasal 268 ayat 3 UU KUHAP yang membatasi permohonan peninjauan kembali hanya satu kali.
Mahkamah menyatakan, Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang memuat ketentuan pengajuan PK hanya satu kali bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat keadilan tidak dibatasi oleh waktu dan hanya boleh sekali karena dimungkinkan ditemukan keadaan baru (novum) yang saat PK pertama kali atau sebelumnya belum ditemukan.
"Oleh karena itu, pengadilan yang seharusnya melindungi hak asasi manusia (HAM) tidak membatasi PK hanya sekali. Dengan membatasi PK, pengadilan telah menutup proses pencarian keadilan dan kebenaran," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Antasari Azhar menguji Pasal 268 ayat (3) KUHAP karena merasa dirugikan hak konstitusionalnya terkait ketentuan yang menutup ruang mengajukan PK lebih dari sekali untuk mencapai keadilan yang dia harapkan.
Dia berdalih jika suatu perkara yang telah diajukan PK kemudian ditemukan bukti baru (novum) kasusnya terkatung-katung dalam proses penyelidikan atau penyidikan.
Untuk itu, Antasari meminta MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi `Permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja¿ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali jika dimaknai terhadap alasan ditemukannya bukti baru berdasarkan pemanfaatan iptek. (Ant)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...