PM Inggris David Cameron Mundur
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Perdana Menteri Inggris, David Cameron, mengumumkan mengundurkan diri setelah rakyat Inggris menolak seruannya dan memilih untuk keluar dari Uni Eropa.
"Keinginan rakyat Inggris adalah perintah yang harus dijalankan," kata dia, sebagaimana dikutip dari The Guardian hari ini (24/6).
Ia berjanji akan tetap di posisinya sampai beberapa bulan mendatang untuk "mengamankan kapal." Tapi, "Saya kira tidak tepat bagi saya untuk menjadi kapten yang mengarahkan negara kita ke tujuan berikutnya," kata dia.
"Saya benar-benar jelas [dalam referendum] tentang keyakinan saya bahwa Inggris lebih kuat, lebih aman dan lebih baik di dalam Uni Eropa. Dan saya telah menjelaskan referendum itu tentang ini dan itu saja, bukan masa depan politisi tertentu, termasuk saya sendiri."
Tapi orang-orang Inggris telah membuat keputusan yang sangat jelas untuk mengambil jalan yang berbeda dan dengan demikian saya pikir negara membutuhkan kepemimpinan segar untuk mengambil arah ini," tutur dia.
"Saya akan melakukan segala sesuatu yang dapat saya lakukan sebagai perdana menteri untuk menstabilkan kapal selama beberapa minggu atau bulan ke depan. Tapi saya tidak berpikir itu akan tepat bagi saya untuk mencoba menjadi kapten yang mengarahkan negara kita ke tujuan berikutnya."
"Ini bukan keputusan yang saya ambil dengan mudah. Tapi saya percaya itu untuk kepentingan nasional untuk memiliki periode stabilitas dan kemudian kepemimpinan baru yang diperlukan," kata dia lagi.
"Tidak perlu ada jadwal yang tepat hari ini. Tapi dalam pandangan saya kita harus memiliki perdana menteri baru pada awal konferensi Partai Konservatif pada bulan Oktober."
Sebelumnya para analis sudah memperkirakan hal ini. Keputusan para pemilih untuk keluar dari Uni Eropa (UE) berarti bahwa David Cameron telah kehilangan sebagian besar mandatnya dan sekarang ada dalam tekanan untuk mundur.
Setelah semua daerah melaporkan hasil referendum Jumat (24/6) pagi, pilihan "Leave" atau meninggalkan Uni Eropa meraih 51,89 persen suara. Pria yang memimpin kampanye "Leave", mantan Wali Kota London Boris Johnson, juga dari Partai Konservatif yang sama dengan Cameron, diperkirakan akan menggantikannya sebagai perdana menteri.
Keputusan untuk keluar dari UE membuka babak ketidakpastian baru untuk Inggris, yang sekarang harus membuat hubungan-hubungan perdagangan baru dengan Eropa daratan dan memulai proses melepaskan diri dari blok beranggotakan 28 negara itu, membalik proses yang dimulai 40 tahun lalu ketika Inggris bergabung dengan apa yang saat itu disebut Masyarakat Ekonomi Eropa.
Para analis mengatakan proses pelepasan itu mungkin akan memerlukan waktu dua tahun atau lebih sampai tuntas.
Dalam sebuah keputusan bersejarah, rakyat Inggris memutuskan meninggalkan Uni Eropa setelah media besar Inggris memperkirakan kemenangan dalam referendum yang memicu semangat atas isu-isu imigrasi dan kedaulatan.
Berita ini memicu reaksi negatif di pasar-pasar Asia dan mata uang pound Inggris anjlok ke tingkat terendah dalam tiga dekade terakhir.
Jumlah orang yang memilih tinggi, lebih dari 70 persen meskipun hujan badai turun di hari referendum, yang mencerminkan perasaan kuat akan isu ini di negara yang tingkat imigrasinya telah naik dua kali lipat dalam 16 tahun terakhir.
Pemungutan suara itu tampak didorong oleh sentimen-sentimen anti-kemapanan dan perasaan bahwa struktur tata kelola Uni Eropa mengambil terlalu banyak kendali dari rakyat Inggris pada umumnya.
"Biarkan 23 Juni tercatat dalam sejarah sebagai hari kemerdekaan kita," tokoh kampanye anti-UE Nigel Farage mengatakan kepada para pendukungnya di Westminster hari Jumat pagi.
Farage memimpin Partai Independen Inggris, yang mendukung pembatasan imigrasi yang keras. Ia mengatakan perkiraan-perkiraan pemilihan umum menjadi "kemenangan untuk rakyat, kemenangan untuk orang biasa, kemenangan untuk warga yang jujur."
Perdana Menteri David Cameron, yang memimpin kampanye untuk tetap berada dalam UE, dijadwalkan untuk mengeluarkan pernyataan Jumat pagi.
Konsekuensi Ekonomi
Para pemilih tampaknya mengabaikan seruan pemerintah dan sektor usaha, yang memperkirakan konsekuensi ekonomi yang buruk untuk Inggris. Departemen Keuangan memperkirakan bahwa meninggalkan Uni Eropa akan membuat rata-rata keluarga menghabiskan hampir US$6.000 per tahun.
Para pemimpin usaha memperingatkan bahwa pembatasan imigrasi yang baru akibat Brexit atau keluar dari UE akan membuat mereka mengalihkan ribuan pekerjaan di Inggris ke negara-negara yang masih ada dalam UE.
Pada akhirnya, para pemilih Inggris tampak memilih risiko independen daripada masih ada dalam manajemen UE yang dianggap tidak demokratis dan semakin besar serta intrusif.
"UE telah menyusup ke segala arah. Lembaga ini mulai sebagai persetujuan perdagangan. Lalu menjadi komunitas. Sekarang sebuah serikat dan menginginkan mata uang sendiri dan pasukan pertahanan sendiri. Hanya masalah waktu sampai ini menjadi negara," kata Lord David Owen, mantan menteri luar negeri Inggris, kepada VOA.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...