PM Papua Nugini Bicara Hukuman Mati Jelang Kunjungan Jokowi
PAPUA NUGINI, SATUHARAPAN.COM - Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill mengatakan hukuman mati akan dikaji ulang di negara itu setelah protes global baru-baru ini melanda negara tetangganya, Indonesia, selama eksekusi narapidana asing narkoba. Hal itu ia sampaikan beberapa jam setelah negara itu akan menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo dari Indonesia.
Hukuman mati dihidupkan lagi di negara ini sejak dua tahun lalu dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan yang merajalela, diantaranya dalam kasus pembakaran hidup-hidup seorang wanita berusia 20 tahun karena tuduhan memiliki ilmu sihir.
Dewan Eksekutif Nasional negara itu menyetujui tiga pilihan eksekusi mati, yakni hukuman gantung, suntik mati dan menghadapi regu tembak. "Seperti yang telah saya tunjukkan secara terbuka, bahwa (hukuman mati) ini sedang dikaji," kata O'Neill kepada wartawan, seperti diberitakan abc.net.au, Senin (11/5).
"Lembaga pemerintah kami meninjau semua aspek hukuman mati di negara kami dan kami akan berdebat masalah ini di parlemen nanti," kata dia.
Tidak dijelaskan apakah pernyataan tentang hukuman mati bersamaan dengan kunjungan Jokowi ke Papua Nugini merupakan isyarat bahwa Peterl O'Neill akan mengangkat isu ini dalam pembicaraan dengan Jokowi.
Sebelumnya, setelah eksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran di Bali, perdebatan tentang peran hukuman mati dalam masyarakat telah menyebabkan Australia mendorong dan mengkampanyekan dihapuskannya hukuman mati di seluruh dunia.
Sementara itu, Uskup Agung Papua Nugini John Ribat, yang menolak hukuman mati di Papua Nugini, mengatakan ia mendukung saran dari peninjauan ulang hukuman mat di negara itui dan mengatakan akan "menghormati kehidupan."
John Ribat mengatakan ia menghormati hak Joko Widodo untuk menegakkan hukuman mati di Indonesia tetapi tidak setuju dengan hukuman mati yang digunakan di Papua Nugini.
"Itu adalah pandangan bangsa, tapi di sini kita adalah orang Kristen, dan kami percaya hukum Allah harus menang," kata Uskup Agung itu.
"Tidak ada yang memiliki hak untuk mengambil nyawa orang lain," kata John Ribat menambahkan.
Pada bulan Februari, Jaksa Agung dan Sekretaris Departemen Kehakiman, Lawrence Kalinoe, mengatakan pemerintah ingin membuat negara menjadi tempat yang lebih aman dengan memperkenalkan kembali hukuman mati.
Akan tetapi, John Ribat mengatakan kejahatan yang diancam dengan hukuman mati seperti pengkhianatan, pembajakan, pembunuhan yang disengaja, pemerkosaan, perampokan yang melibatkan kekerasan dan pembunuhan akan lebih baik ditangani dengan hukuman penjara yang lama.
Dia mengatakan pemerintah "menghindari tanggung jawab" dengan memberi hukuman mati karena tidak merehabilitasi para pelanggar serius.
"Kami percaya bahwa cara yang lebih baik untuk menangani orang-orang yang melanggar hukum adalah melakukan hukuman seumur hidup, dan itu adalah cara merehabilitasi orang dan membantu mereka untuk menjadi orang yang baik," kata Uskup Agung itu.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...