Polisi dan Negara Gagal
SATUHARAPAN.COM – Masalah dalam institusi penegakkan hukum di Indonesia masih terus menjadi sorotan dan berkecenderungan makin memprihatinkan. Yang terakhir adalah masalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilemahkan, dan kemudian masalah pemimpin tertinggi Polri, terutama Komjen Budi Gunawan dipilih sebagai Wakapolri, setelah gagal sebagai calon Kapolri.
Kelanjutan penyelesaian masalah hukum yang dihadapi oleh Budi Gunawan, yang menyebabkan Presiden membatalkan sebagai calon Kapolri, juga menimbulkan banyak pertanyaan di publik. Demikian juga pada kasus yang menimpa komisioner KPK non aktif yang terlihat begitu lambat ditangani, sehingga mengesankan semua itu tidak lebih dari masalah kepentingan kekuasaan.
Bagi publik masalah sebenarnya bukan pada siapa yang memimpin Polri, juga siapa yang memimpin KPK. Bukan juga masalah korupsi ditangani oleh Polri dan Kejaksaan Agung atau oleh KPK. Rakyat Indonesia fokus pada harapan agar kejahatan, terutama korupsi diberantas secara tuntas, serta hukum dan keadilan ditegakkan.
Harapan rakyat fokus pada institusi penegak hukum untuk bekerja dengan baik, dan dimulai dengan menunjukkan bahwa institusi itu bersih dan berintegritas. Namun kita menyaksikan perkembangannya tidak ke arah harapan itu. Sebaliknya, dengan miris menyaksikan banyak kasus para penegak hukum dibekukan, sementara kasus seorang nenek, Asyani, terus dikejar seolah-olah sebagai kasus yang sangat penting bagi tegaknya keadilan di Indonesia.
Negara Gagal
Situasi ini bertumbuh makin memprihatinkan, karena masalah dalam kepemimpinan lembaga penegak hukum akan menjadi masalah yang lebih serius dalam mewujudkan ketertiban hukum dan keadilan. Situasi ini menanam pesismistis tentang tumbuhnya kriminalitas dan ketertiban di masyarakat yang sejauh ini cukup tinggi.
Menarik apa yang diingatkan oleh Prof. Dr. JE Sahetapy dalam sebuah acara di televisi yang mengingatkan tentang tembok yang main tinggi di sekolah dan perumahan. Kita bisa menambahklan dengan menyebutkan makin banyak rumah harus dipagari, jendela dan pintu dengan teralis, bahkan di banyak tempat dibutuhkan kamera CCTC. Semua itu tanda bahwa rasa aman yang melemah, dan kriminalitas terasa sebagai ancaman yang kronis.
Situasi keamanan seperti itu merupakan pertanda awal kegagalan negara. Dan Indonesia berada pada peringkat negara dengan peringatan keras sebagai negara gagal. Situasi kita seperti digambarkan oleh Fund for Peace yang setiap tahun mengeluarkan Indeks Negara Gagal, memang berkecenderungan membaik. Kita berada di urutan 63 pada 2012, kemudian 76 pada 2013 dan 82 pada 2014. Namun indikator penting masih cukup memprihatinkan.
Menurun Fund for Peace (FFP) ciri yang umum sebuah negara gagal adalah pemerintah pusat yang sangat lemah dan tidak efektif. Yang paling parah adalah kekuasaan negara praktis tidak hadir di sebagian besar wilayah. Indikator lain adalah buruknya layanan publik, tingginya korupsi dan tindak kejahatan yang meluas, serta adanya pengungsi.
Selama beberapa tahun indeks negara gagal oleh FFP memang menunjukkan sebagian besar terjadi di Afrika dan Timur Tengah, serta Asia. Namun untuk Indonesia, nilai yang buruk tahun 2014 terkait dengan indikator tekanan kependudukan, khususnya terkait gap lebar dalam bidang ekonomi. Indikator lainnya adalah banyaknya keluhan kelompok warga yang terkait diskriminasi, kekerasan masal, kekerasan sektarian, etnik dan agama, dan adanya kelompok warga yang lemah (powerless). Masalah besar lainnya adalah indikasi tumbuhnya faksi-faksi dalam elite yang terkait perebutan kekuasaan, konflik pemilihan umum, dan kompetis politik yang tidak jujur.
Polisi dan Negara Gagal
Eksistensi polisi dan kepolisian sangat vital dalam penegakkan hukum, ketertiban dan keadilan, bahkan berada pada posisi yang langsung dengan masyarakat. Integritas polisi sangat konkret dirasakan oleh rakyat, bahkan meskipun hal itu tak bisa dikatakan.
Namun ketika institusi ini dibawa ke dalam konflik faksional, terutama di kalangan elitenya, maka sama artinya mendorong kita ke arah negara gagal. Sebab, dari banyak catatan pada pengalaman negara gagal, selalu dimulai dengan lemahnya ketertiban dan penegakan hukum yang mencerminkan secara nyata tidak hadirnya kekuasaan negara.
Elite polisi yang gagal membangun integritas dirinya dan institusinya, akan gagal juga dalam menghadirkan kekuasaan negara di masyarakat, bahkan proses politik bisa sumber konflik. Belakangan ini kita justru menyaksikan banyak kawasan dan bidang yang secara nyata absen dari kekuasaan negara. Wilayah ini kemudian dikuasai oleh organisasi kriminal, bahkan kelompok kriminal ini melibatkan mereka yang duduk dalam jabatan pemerintahan.
Masalah pemilihan Kapolri dan wakapolri telah mengundang sinisme terhadap institusi penegak hukum dan keadilan Indonesia ini. Hal ini berarti kita tidak peka, bahkan menafikan, adanya peringatan keras yang bisa membawa kita pada kegagalan negara.
Kita bisa saja menyikapinya dengan memberi kesempatan untuk Kapolri dan wakapolri baru untuk memperbaiki lembaga ini. Namun membiarkann Polri dalam konflik faksional berarti gambling dengan pertaruhan yang terlalu besar besar, di tengah ancaman kriminal yang makin luas dan terorganisasi, bahkan masuk dalam lembaga pemerintahan.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...