60 Th KAA dan Hilangnya Kekuatan Ketiga
SATUHARAPAN.COM – Apakah Dasasila Bandung, dokumen penting yang dihasilkan oleh Konferensi Asia-Afrika (KAA) 60 tahun lalu di Bandung masih mempunyai kekuatan dan berpengaruh bagi negara-negara yang hadir Konferensi Tingkat Tinggi pada tahun 1955 itu, atau konferensi kali ini lebih sebagai sekadar bernostalgia?
Fokus KTT yang digagas lima negara (Indonesia, Burma - yang sekarang bernama Myanmar- India, Pakistan, Sri Lanka- yang dulu disebut Ceylon) adalah membangun kerja sama di antara negara-negara yang baru merdeka, yang masih bergulat dengan masalah identitas, ekonomi dan politik dalam negeri.
Sementara itu di luar 29 negara yang hadir kala itu ada kekuatan imperialisme dan kolonialisme, di mana sejumlah negara masih dalam penjajahan, terutama oleh Prancis. Serta meningkatnya Perang Dingin antara Blok Amerika Serikat (Barat) dan Uni Sovyet (Timur), yang mempengaruhi situasi di negara-negara baru merdeka itu.
Dasasila Bandung, pada konteks waktu itu, merupakan pernyataan yang cukup tegas bagi negara-negara pserta dalam merespons situasi dunia. Ikatan dalam konferensi itu menjadi simbol sebagai sebuah kekuatan baru yang lain dari dua kekuatan yang ada, antara Blok Barat dan Timur. Hal ini makin jelas ketika pada 1961 semangat KAA ini mendorong lahirnya Gerakan Non Blok (GNB) yang anggotanya sebagian besar adalah peserta KAA.
Dalam beberapa dekade, GNB menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan dalam kebijakan negara-negara lain, khususnya dari Blok Barat dan Timur yang terlibat Perang Dingin. Namun GNB juga pada akhirnya meredup seiring mendinginnya Perang Dingin yang dimulai dengan revolusi keterbukaan di Uni Sovyet yang dikenal sebagai Glasnost (keterbukaan) atau Perestroika (reformasi) pada era Presiden Mikhail Gorbachev pada dekade 1980-an.
Berakhirnya Perang Dingin sepertinya membuat gerakan negara-negara yang sebagian besar anggotanya merupakan negara sedang berkembang ini kehilangan relevansinya. Kepentingan-kepentingan dalam negeri, terutama terkait dengan pembangunan ekonomi, membuat ikatan di antara anggota GNB melemah. Di sisi lain, ikatan dengan blok ekonomi kawasan, seperti Asia Pafifik, Uni Afrika, ASEAN, menjadi lebih diperhatikan. Dan GBN hampir dalam dua dasawarsa ini juga tak banyak bersuara.
Relevansi Dasasila Bandung
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, U Nu dari Burma (Myanmar), Jawaharlal Nehru dari India, Mohammad Ali Bogra, dan John Kotelawala dari Ceylon (Sri Lanka), pemimpin lima negara penggagas KAA April 1955. (Foto: Indonesia cri)
Seruan dalam Dasasila Bandung sendiri tampaknya kehilangan kekuatan bagi sejumlah negara yang hadir pada konferensi tahun 1955. Beberapa butir penting tidak bergaung, seperti masalah hak asasi manusia yang tercantum dalam butir pertama. Bahkan negara-negara yang hadir pada konferensi tahun 1955 itu masih merupakan negara dengan catatan HAM yang tidak baik.
Dalam hubungan bilateral atau multilateral, khususnya dalam penyelesaian konflik yang juga diserukan oleh dokumen itu, juga banyak yang tak bergaung. Pecahnya perang antara Irak dan Iran adalah wujud di mana deklarasi itu diabaikan, bahkan juga ketika Irak melakukan invasi militer ke Kuwait.
Situasi konflik di Timur Tengah dan Afrika Utara juga tidak sepi dari keterlibatan negara lain dan tetangga, termasuk peserta KAA. Dan keterlibatan itu bukan untuk penyelesaian konflik secara damai, tetapi terlibat dalam penggunaan kekuatan militer. Hal ini terjadi di Yaman, Suriah dan Irak. Juga cara India dan Pakistan menyelesaikan konflik di Khasmir. Situasi ini mencerminkan bahwa butir-butir Dasasila Bandung bukanya tidak relevan, tetapi tidak diindahkan oleh negara-negara yang menekennya.
Kerja sama ekonomi yang ingin dibangun di antara negara-negara anggota tidak tumbuh signifikan, bahkan kerja sama dengan negara-negara lain (Blok Barat dan Blok Timur) tetap lebih dominan ketimbang dengan sesama peserta KAA. Situasi itu makin kuat, ketika GNB juga makin kurang berperan.
Hilangnya Kekuatan Ketiga
Pasca Perang Dingin, ternyata juga tidak menjadi momentum yang dimanfaatkan oleh negara-negara peserta KAA. Kekuatan ekonomi dunia yang masih didominasi oleh Barat, dan terus dalam tarik-menarik kepentingan Barat dan mantan Blok Timur, membawa negara-negara KAA kembali pada percaturan antar blok, dan tetap tidak menguntungkan. India dan China yang tampaknya tumbuh menjadi kekuatan ekonomi baru yang diperhitungkan, namun ‘’hatinya’’ tidak ada pada solidaritas itu.
Bahkan konflik di Timur Tengah selalu diwarnai oleh kekuatan blok-blok, terutama meningkat dalam beberapa tahun terakhir dengan berhembusnya angin ‘’Revolusi Musim Semi Arab’’, dan yang juga menyebar ke Afrika Utara. Bahkan masalah Ukraina, juga tidak lepas dari ketegangan kedua blok.
Masalah itu justru makin mengeras ketika kekuatan ketiga dari negara-negara peserta KAA dan anggota GNB telah undur dari percaturan dunia. Dan situasi ini mulai disebut-sebut sebagai tumbuhnya kembali ‘’perang dingin’’ dalam peta yang baru.
Oleh karena itu, semangat Dasasila Bandung sebenarnya masih cukup revelan bahkan makin relevan bagi negara-negara peserta KAA dan anggota GNB, terutama untuk mengembalikan bahwa dunia ini bukan hanya untuk ‘’perebutan dua blok’’ dan yang lain menonton kecewa dan hanya bisa protes.
Namun demikian, masalahnya, terletak apakah negara-negara ini mampu menjadikan dokumen itu untuk membangun kekuatan penyeimbang dalam mengelola tata hubungan antar negara di dunia. Atau hanya catatan sejarah masa lalu?
Sepuluh tahun lalu, semangat Dasasila Bandung kembali dicoba untuk diangkat pada pertingatan 50 tahun di Bandung, dan momentum itu dimaksudkan untuk mengangkat kerja sama ekonomi di antara negara-negara Asia dan Afrika. Namun situasinya tak berubah bahkan seusai ‘’seremoni nostalgia’’ itu.
Konferensi kali ini mengangkat isu dukungan bagi kemerdekaan Palestina, dan seperti diusulkan Yordania, membahas masalah dunia Islam. Butir-butir Dasasila Bandung, secara tekstual memang berpotensi disuarakan untuk membangun tata hubungan di dunia yang berpihak pada negara-negara berkembang, termasuk dalam menyoroti dua isu tersebut. Namun secara kontekstual akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan dalam negeri masing-masing negara yang yang berbeda dengan konteks 60 tahun lalu. Dan sekarang tampaknya kepentingan bersama makin tidak mudah dirajut.
Hal ini yang menjadikan pertanyaan: bagaimana pertemuana di Bandung ini mengangkat isu kemerdekaan Palestina dan dunia Islam bisa menjadi benang yang merajut kepentingan bersama negara-negara peserta KAA. Atau peringatan ini hanya seremoni nostalgia.
Israel Pada Prinsipnya Setuju Gencatan Senjata dengan Hizbul...
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Siaran media Kan melaporkan bahwa Israel pada prinsipnya telah menyetujui...