Ujian Tanpa Nasional
SATUHARAPAN.COM – Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) dalam beberapa tahun terakhir, termasuk tahun ini, masih saja menghadapi sejumlah masalah. Cerita tentang kebocoran soal dan kunci jawaban masih terjadi, meskipun ada berkecenderungan menurun. Ujian berbasis komputer (CBT / Computer Base Test) atau ujian online juga belum bisa berjalan mulus.
Tampaknya selama UN terus dilaksanakan tidak akan sepi dari masalah. Sebab, ada hal-hal yang mendasar yang terabaikan dalam sitem evaluasi pendidikan. Selama masalah ini tidak diatasi, hakikat dan manfaatnya evaluasi pendidikan ini tidak akan didapat, kecuali masalah dan beban berat yang ditanggung sekolah dan peserta didik.
Model evaluasi UN tidak akan mampu memotret capaian belajar peserta didik secara lengkap, karena menekankan aspek kognitif, sementara aspek psikomotor dan afektif terabaikan. Hal ini menjadi naif, karena aspek kognitif bukan juga satu-satunya yang akan menentukan keberhasilan seseorang selepas dari pendidikan.
Evaluasi pendidikan semestinya juga tidak hanya menguji peserta didik dalam satu waktu, melainkan berjalan bersama proses belajar mengajar. Kondisi siswa ketika UN dilaksanakan juga tidak bisa menjadi mencerminkan capaian belajar mereka secara lengkap selama beberapa tahun belajar pada jenjang pendidikan bersangkutan. Itu sebabnya evaluasi capaian belajar oleh peserta didik hanya bisa dilakukan dengan baik oleh pendidik dan penyelenggara pendidikan. Sekolahlah yang semestinya menyelenggarakan ujian.
Jika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghendaki peningkatan integritas sekolah, hal itu justru akan tercermin dari evaluasi yang dilakukan sekolah, dan kualitas lulusannya dalam dunia kerja, bukan oleh angka-angka di ijazah yang ternyata bisa juga dipermainkan. Haruslah dikembalikan bahwa masyarakat (termasuk dunia kerja) yang akan menetapkan kualitas lembaga pendidikan, bukan hanya oleh lembaga akreditasi yang menggunakan ukuran formal.
Oleh karena itu, ketika hasil UN dijadikan dasar utama kelulusan, maka UN menjadi momok yang menyeramkan. UN menjadi hakim yang kejam yang menentukan nasib peserta didik atas evaluasi yang tidak fair.
Validitas Soal UN
Masalah lain adalah alat ukur (aparatus evaluasi) yang digunakan dalam UN. Sejauh ini belum cukup jelas adanya uji validitas terjadap soal-soal yang digunakan. Apalagi alat test itu berbentuk pilihan ganda yang membuka lebar dilakukan dengan spekulasi, sehingga tidak mencerminkan capaian belajar peserta didik secara utuh.
Soal yang digunakan dalam UN yang menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek psikomotor dan afektif sebenarnya telah menunjukkan soal-soal UN sebagai alat (aparatus) evaluasi pendidikan telah diragukan validitasnya.
Di sisi lain, pemerintah sendiri belum mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dan seimbang bagi sekolah-sekolah di seluruh negeri. Jurang perbedaan fasilitas pendidikan pada sekolah di daerah dan di kota masih terlalu lebar. Namun para siswa dites dengan cara yang sama dan alat yang sama.
Terkait hal ini, sering pihak Kementerian mengelak dengan mengatakan bahwa hasil UN juga sebagai alat mengukur lembaga pendidikan, termasuk UN tahun ini disebutkan untuk mengukur integritas sekolah dalam hal kejujuran. Ini juga merupakan pernyataan yang naif, sebab sasaran evaluasi yang berbeda membutuhkan aparatus yang berbeda. Hasil UN memang bisa dijadikan sebagai salah satu untuk evaluasi sekolah.
Kecurangan, kebocoran soal, bahkan mencontek secara massal yang melibatkan pendidik pada UN sebelumnya terjadi karena tidak jelas target evaluasi pendidikan yang dilakukan melalui UN. Akibatnya, UN juga menjadi evaluasi menentukan bagi guru, sekolah, bahkan pemerintah daerah, sehingga mereka berkepentingan untuk ‘’merekayasa’’ tingkat kelulusan untuk memenuhi catatan ‘’prestasi’’ mereka.
Ujian Tanpa Nasional
Evaluasi, meskipun tidak menyenangkan, selalu diperlukan, karena memberi informasi tentang kemajuan dan tingkat capaian. Dalam pendidikan, evaluasi diperlukan bagi siswa untuk melihat capaian hasil belajar. Namun evaluasi juga diperlukan bagi guru dalam mendorong peningkatan kualitas mengajar, serta evaluasi bagi lembaga penyelenggara pendidikan dengan antara lain memantau kualitas lulusannya di dunia kerja atau di jenjang pendidikan lebih lanjut.
Evaluasi untuk capaian belajar peserta didik semestinya dilakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Dengan demikian tidak perlu ujian nasional. Sedangkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, dan memperkecil gap antar daerah, pemerintah harus lebih fokus pada menyediakan sarana pendidikan, dan terutama meningkatkan kualitas guru dan lembaga penyelenggara pendidikan.
Penyelenggaraan UN selama ini harus dievaluasi secara serius. Sebab, evaluasi adalah bagian dari proses belajar dan proses evaluasi dalam pendidikan harus bersifat edukatif, bukan penghakiman yang kejam. Kita menerima bahwa hasil UN tahun ini bukan penentu utama kelulusan siswa, namun UN sejauh ini belum mampu menjadi sarana yang valid dalam evalausi pendidikan. Sebaliknya, justru telah menelan biaya yang besar, terutama biaya sosial, yang menjadi batu sandungan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...