Blokir Situs dan Kebebasan Pers
SATUHARAPAN.COM – Apakah pemblokiran 22 situs yang dinilai mengandung materi radikalisme oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi atas usulan Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) akan mengancam kebebasan pers?
Sebagian respons atas keputusan BNPT dan Menkominfo menyatakan bahwa pemblokiran sebagai pembungkaman kebebesan pers dan kebebasan berpendapat dan mirip dengan pembreidelan pers pada masa lalu.
Namun demikian sebagian lagi respons menyatakan bahwa hal itu sebagai tindakan yang harus dilakukan pemerintah dan negara, karena isinya mengarah kepada radikalisme yang mengancam keamanan negara.
Berkaitan dengan kebebasan berpendapat, semestinya hal ini tidak dimaknai sebagai boleh melontarkan pendapat apa saja, dan bebas dalam pengertian tanpa larangan. Hal itu termasuk menyerang pihak lain secara verbal, atau menghasut untuk tindakan yang melawan hukum.
Hukum di Indonesia sebenarnya telah menyebut hal itu sebagai tindak pidana yang berarti bahwa itu tidak dalam ranah kebebasan berpendapat. Sebab kebebasan ada batasanya, dan batas itu adalah ketika mulai mengganggu hak dan kebebasan orang lain.
Namun untuk tindakan pemerintah memblokir situs web memang memerlukan landasan hukum sebagaimana negara hukum dan untuk mencegah kesewenang-wenangan. Maka sangat bijak jika pemerintah dan lembaga negara terkait membahas landasan hukum untuk tindakan ini melengkapi UU yang ada tentang informasi.
Pers Online
Berkaitan dengan kekhawatiran bahwa pemblokiran 22 situs itu sebagai ancaman bagi kebebasan pers, yang harus didudukkan pertama adalah apakah situs itu merupakan situs berita? Apakah informasi yang disajikan itu merupakan karya jurnalistik oleh wartawan? Apakah pengelolanya merupakan institusi pers?
Situs yang menyajikan berita dan sebagai pers mempunyai ketentuan dan terikat pada UU Pers dan kode etik jurnalistik. Maka penting untuk didudukkan dengan benar bahwa informasi yang disajikan oleh 22 situs itu, jika disebutkan sebagai produk pers atau sebagai pers online, harus dibuktikan memenuhi ketentuan itu.
Selain itu, apakah lembaga yang mengelola situs tersebut memenuhi syarat di mana disebutkan dengan jelas tentang penerbit, penanggung jawab, editor dan juga reporternya. Jika sebuah situs tidak menyebutkan hal itu, setidaknya tidak bisa dikatakan sebagai pers, bahkan sangat mungkin merupakan situs ‘’gelap.’’
Pers mempunyai tanggung jawan memberitakan fakta yang diperoleh dengan prosedur yang dibenarkan menurut UU Pers dan kode etik, dan dari sumber-sumber yang jelas. Bahkan jikapun yang disampaikan adalah pendapat atau opini, harus jelas dibedakan antara opini dan fakta.
Masyarakat Indonesia tampaknya masih harus membangun kesadaran dan bijak dalam mengunjungi situs web. Sebab, masyarakat ini baru beberapa tahun ini menikmati kecanggihan teknologi yang membawa keterbukaan menyampaikan pendapat dan mendapatkan informasi. Di sisi lain, banyak situs yang bukan situs pers (berita) dan nilai informasi yang disajikan tidak memenuhi standar jurnalistik.
Masyarakat memang memerlukan dibantu untuk menyeleksi berita dari situs-situs yang ada. Selain itu banyak juga situs yang berisi hal-hal yang destruktif, termasuk berisi kekerasan, radikalisme, hasutan untuk kriminal dan tindakan diskriminatif, serta pornografi. Hal ini adalah tanggung jawab pemerintah dan negara.
Kebebasan Pers
Sejauh tindakan yang dilakukan oleh Menkominfo dan BNPT itu dibenarkan secara hukum, terutama UU Pers, hal itu tidaklah merupakan ancaman bagi kebebasan pers. Apalagi Dewan Pers baru-baru ini menyatakan bahwa 22 situs itu bukan pers, dan informasi yang disajikan bukan karya jurnalistik. Bahkan ditegaskan bukan ancaman bagi kebebasan pers.
Di sisi lain ada banyak situs yang bukan pers dan tidak berisi produk jurnalistik tetapi ditampilkan ‘’seolah-olah’’ sebagai pers. Hal ini memanfaatkan kekurang-pahaman masyarakat tentang standar berita pers. Akibatnya, banyak informasi melalui internet diterima begitu saja sebagai berita, padahal bukan fakta, dan dengan sumber yang tidak jelas.
Perkembangan pesat teknologi informasi, khususnya internet ini perlu dikelola dengan baik, agar karya jurnalistik disampaikan dengan cara yang benar oleh institusi pers, sehingga masyarakat tidak ‘’terkecoh’’. Sebab, banyak sekali informasi di internel yang sifatnya ‘’sampah’’ bahkan berisi kebohongan. Pemerintah perlu membantu publik untuk mengenali dan memilih dengan benar mana situs berita yang dikelola institusi pers.
Publik juga perlu dilindungi dalam memperoleh informasi bukan jurnalistik dari situs lain yang terpercaya. Hal ini antara lain situs yang dikelola oleh pemerintah lembaga pendidikan, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian, dan swasta ain yang banyak menyajikan informasi dan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat.
Pemblokiran situs dengan konten yang tidak benar dan destruktif justru diperlukan dan harus ditempatkan sebagai upaya untuk melindungi situs yang dikelola dengan benar, termasuk situs pers. Dan itu harus memperoleh kepastian melalui landasan hukum.
Israel Pada Prinsipnya Setuju Gencatan Senjata dengan Hizbul...
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Siaran media Kan melaporkan bahwa Israel pada prinsipnya telah menyetujui...