Politics of Hope Vs. Politics of Fear
SATUHARAPAN.COM - Edmund Burke, filosof politik ternama asal Inggris pada abad ke-17, pernah menulis “No passion so effectually robs the mind of all its powers of acting and reasoning as fear.” Ketakuatan adalah kekuatan luar biasa yang bisa membunuh nalar.
Orang mungkin bisa terbuai oleh harapan akan kebebasan, kehidupan lebih makmur, atau hasrat berkuasa. Tetapi tidak semua bisa mudah tergerak untuk bertindak menggapai harapan. Tidak semua orang hidup dalam kesengsaraan yang akut. Bahkan dalam suasana ketidakadilan banyak orang yang cukup puas dengan hidup apa adanya.
Beda ceritanya ketika harapan diganti oleh ketakutan akan ancaman eksitensial. Ketakutan menciptakan suasana panik dan ‘sense of urgency’ yang menuntut orang mengambil langkah segera. Logika untuk bertindak cepat membunuh akal karena pertimbangan rasional dianggap bisa memberi peluang bagi realisasi ancaman.
Orang yang didorong oleh harapan bisa membuat kalkulasi dan mempertimbangkan pentingnya mencapai harapan dengan cara yang baik. Sebaliknya, ketakutan membuat orang menghalalkan segala cara. Logika terdesak bermain. Dalam situasi terdesak, kekerasan, kelicikan dan pemimpin yang kuat atau diktator dianggap penting. Patut dicatat tidak ada kekerasan yang tidak dilegitimasi sebagai tindakan membela diri.
Politik ketakutan tidak asing dalam pemilu. Tidak ada politisi yang tidak berbicara soal ancaman. Tetapi tidak semua narasi tentang ancaman bisa disebut politik ketakutan. Mereka yang berada di pihak oposisi atau kelompok termajinalkan tentu akan berbicara tentang ancaman dari keberlangsungan ketidakadilan oleh status quo. Tetapi logika ancaman akan bergeser ke politics of fear ketika narasi ancaman itu dikonstruksi secara manipulatif dengan menekankan pada konsekwensi ancaman tersebut terhadap eksistensi komunal kelompok masyarakat tertentu.
Politik ketakutan mungkin bisa dipahami secara sederhana sebagai upaya menggunakan atau memanipulasi perasaan terancam masyarakat untuk kepentingan politik. Definisi ini ada benarnya juga. Tetapi patut dicermati karakter utama politik ketakutan tidak terletak pada tujuan pelaku, tetapi lebih pada karakter ancaman yang dinarasikan oleh pelaku. Berbeda dengan perlawanan terhadap ketidakadilan yang mendasarkan pada realitas ancaman ketidakadilan yang nyata, narasi ancaman dalam politik ketakutan adalah ilusi atau fantasi. Narasi dalam politik ketakutan bersifat distortif, dis-informatif (sengaja menyebarkan informasi yang salah atau tidak akurat) dan melebih-lebihkan. Frank Furedi, penulis Politics of Fear: Beyond Left and Right (2005) memperingatkan kekuatan sekaligus bahaya dari politik ketakutan terletak pada kemampuanya mengaburkan batas antara fakta dan mitos.
Dalam sejarah perebutan kekuasaan modern, keberhasilan Adolf Hitler membangun rezim kekuasaan Nazi di Eropa dan pemilu di Amerika bisa menjadi contoh. Hitler menggunakan ketakutan akan orang-orang Yahudi untuk menggulingkan pemerintahan republik di Jerman. Dibantu Josseph Goebbels, ahli perancang propaganda, Hitler membangun basis kekuasaanya berdasarkan narasi tentang ancaman kekuatan internasional orang Yahudi. Jaringan Yahudi yang tersebar diyakini sebagai kekuatan bengis yang sudah berhasil menguasai kekuatan-kekuatan besar dunia yakni Amerika Serikat, Inggris dan Rusia. Kekuatan Yahudi ini sedang bergerak untuk menguasai Jerman. Narasi ketakutan akan ancaman nyata dari kekuatan Yahudi ini disebarkan melalui berbagai media termasuk film, siaran radio dan karikatur yang berisi demonisasi terhadap orang Yahudi. Narasi inilah yang memberi legitimasi terhadap kepemimpinan mutlak Hitler, menggerakkan jutaan orang untuk berperang dan tindakan pembersihan etnis terhadap orang Yahudi.
Dalam skala yang berbeda strategi serupa dilakukan oleh tim kampanye George W. Bush pada pemilu di Amerika pada tahun 2008. Bush memobilisasi dukungan memanfaatkan tragedi serangan teror pada pada tahun 2001. Perang melawan terorisme menjadi tema utama kampanye Bush yang didukung oleh berbagai citra tentang fundamentalisme Islam dan keberadaan rezim pemerintahan atau pemimpin Muslim seperti Saddam Hussein dan Osama bin Laden yang bersatu untuk menghancurkan Amerika dengan menggunakan senjata kimia pemusnah massal. Bush menampilkan diri sebagai sosok patriotik yang berusaha menyelamatkan Amerika dalam perang melawan terosime. Politik ketakutan ini berhasil mengantarkan Bush ke kursi Presiden pada pemilu pertamanya, tetapi ketika narasi alternatif yang membongkar kepalsuan bukti tentang senjata pemusnah masal Saddam Hussein mulai terkuak orang mulai berfikir rasional; Bush gagal pada pemilu keduanya.
Di Indonesia politik ketakutan hampir tidak pernah absen dalam setiap pemilu. Pada pemilihan Bupati Sampang tahun 2012 misalnya, isu tentang ancaman aliran Syi’ah digunakan oleh sejumlah kandidat untuk mengungguli kandidat lain. Komunitas Syi’ah yang hanya berjumlah puluhan keluarga dinarasikan sebagai bagian dari kekuatan besar yang sedang menyerang sendi-sendi pokok ajaran Islam. Memanfaatkan narasi ketakutan akan konspirasi Syi’ah ini calon petahana pada pemilu ini memposisikan diri sebagai pembela akidah. Dalam kampanye ia secara terbuka berjanji akan mengusir orang-orang Syi’ah dalam kurun tiga bulan sejak terpilih.
Pada Pilpres kali ini nampaknya politik ketakutan sengaja digunakan sebagai senjata utama. Politik ketakutan berdasarkan isu SARA menjadi semakin penting ketika kontestasi dalam pemilu menghadirkan pertarungan head to head antar dua pasangan. Ini menjadi pertarungan antar politics of fear vs. politics of hope. Satu pihak menggempur pihak lain sebagai ancaman terhadap Islam, nasionalisme dan kemandirian bangsa.
Narasi dibangun untuk memberi kesan bahwa satu pihak mempunyai track record anti-Islam misalnya dengan menunjukkan jumlah anggota parlemen non-Muslim dari partai pengusung. Kedekatan pasangan Prabowo-Hatta dengan sejumlah kelompok militan seperti Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) dan Front Pembela Islam (FPI) yang selama ini mengusung ideologi takfiri berdasarkan narasi antagonisme Islam versus non-Islam patut menimbulkan kekhawatiran bahwa isu SARA akan menjadi senjata untuk menyerang lawan. Keberadaan kelompok-kelompok militan dalam barisan pendukung Prabowo-Hatta di masa depan jika berkuasa bisa menyandera mereka dalam bersikap tegas terhadap kekerasan atas nama agama.
Di pihak pasangan Jokowi-JK nampak yang ditekankan adalah janji perubahan melalui kepemimpinan berdasarkan nilai kejujuran, ketulusan dan politik non-transaksional. Narasi ketakutan bukan berarti tidak ada sama sekali di kalangan pendukung pasangan ini. Latar belakang Prabowo yang diduga terlibat dalam kasus penculikan aktivis pada tahun 1998 jelas digunakan untuk membangun narasi akan kemungkinan terwujudnya kepemimpinan otoriter jika ia memimpin. Pertanyaanya adalah sejauh mana tuduhan ini didukung oleh fakta dan narasi apa yang ditonjolkan; ketakutan akan kembalinya rezim otoriter atau harapan terwujudnya kepemimpinan yang jujur, bersih dan mampu membuat terobosan melalui slogan ‘revolusi mental.’
Mampukah politics of hope mengalahkan politics of fear? Pada pemilu Amerika tahun 2008, Obama menunjukkan mampu mengalahkan narasi perang melawan terorisme Bush dengan slogan ‘change.’ Pada Pilkada Jakarta yang lalu pasangan Jokowi-Basuki mampu menang meskipun dihantam dengan berbagai isu identitas. Riset Lingkaran Survei Indonesia baru-baru ini menunjukkan bahwa sebagian besar publik tidak percaya narasi negatif tentang Jokowi. Tetapi masih lebih dari satu bulan untuk mengubah konstelasi. Kemenangan politics of hope atas politics of fear akan ditentukan oleh kemampuanya mempertahankan diri dari gelombang ketakutan yang sudah pasti akan terus datang dari kompetitornya.
Penulis adalah Dosen Program Studi Agama dan Lintas-budaya/Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM
Enam Manfaat Minum Air Putih Usai Bangun Tidur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Terdapat waktu-waktu tertentu di mana seseorang dianjurkan untuk me...