Rumah Ibadah dan Tanggung Jawab Negara
SATUHARAPAN.COM – Beberapa laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah sering menyebutkan permasalahan rumah ibadah. Dan persoalan ini mencakup banyak aspek yang harus dilihat. Mulai dari kesulitan memperoleh izin mendirikan rumah ibadah, walau persyaratan administratif sudah lengkap; sudah mendapat izin, tetapi ditentang sekelompok masyarakat dan dibawa ke jalur hukum; maupun sudah dilegalkan, tetapi tidak bisa dieksekusi karena ada penolakan warga atau pemerintah lokal, seperti kasus GKI Yasmin.
Pada lain pihak, ada juga yang menyebutkan “regulasi sosial” merupakan faktor yang sering menjadi penghambat kebebasan beragama/berkeyakinan, khususnya dalam pendirian rumah ibadah. Bahkan “regulasi sosial” ini lebih ketat dibandingkan dengan peraturan pemerintah dalam membatasi ekspresi keagamaan.
Lebih jauh, regulasi sosial ini terjadi karena adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan, seperti tampak dalam beberapa penelitian (Lihat CRCS dan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, et all : 2011). Bahkan “regulasi sosial” ini juga cenderung menjadi “hakim” untuk mengadili sesat atau tidaknya kenyakinan seseorang/sekelompok orang, seperti yang terjadi di dalam kasus Ahmadiyah dan Ahlul Bait.
Pada prinsipnya, dalam sebuah negara hukum, seharusnya regulasi negara hadir di ruang publik, dan tidak bisa dikalahkan oleh “regulasi sosial”. Namun pengalaman selama ini memperlihatkan soalnya tidak sesederhana itu. Karenanya perlu ada dialog inklusif dalam mendiskusikan permasalahan rumah ibadah berkaitan dengan “regulasi sosial”. Dialog tersebut didasarkan atas nilai-nilai keterbukaan, saling percaya, tidak ada saling curiga.
Hal yang paling sering muncul dalam permasalahan rumah ibadah agama/kepercayaan apapun adalah kecurigaan adanya penyebaran agama/kepercayaan di wilayah di mana akan didirikan atau telah ada rumah ibadah. Kemudian diikuti dengan memanasnya situasi karena datangnya berbagai kepentingan dari luar lingkungan tersebut. Mungkin karena kepentingan solidaritas keagamaan/kepercayaan, ekonomi dan bahkan tidak memutup kepentingan politik.
Munculnya kepentingan-kepentingan tersebut bukan rahasia umum lagi, karena era sekarang sudah ada keterbukaan informasi. Oleh karena itu, perlu kejujuran, keterbukaan, kepercayaan di dalam dialog untuk menyelesaikan permasalahan rumah ibadah. Jika nilai-nilai tersebut tidak muncul di dalam dialog, maka jangan harap permasalahan rumah ibadah akan terselesaikan, sekalipun ada mediator/fasilitator yang hebat.
Kecurigaan akan adanya penyebaran ajaran keagamaan/kepercayaan sering muncul di dalam permasalahan rumah ibadah. Perlu ditegaskan dan dipahami bahwa penyebaran ajaran keagamaan/kepercayaan di dalam konteks ekspresi keagamaan/kepercayaan bukanlah hal terlarang, asalkan penyebarannya tidak menggunakan upaya kekerasan atau tindak kriminal lainnya seperti penipuan.
Manfred Nowak, pakar mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan, memaknai ibadah adalah bentuk doa/sembahyang (religious prayer) dan “khotbah/ceramah keagamaan” (preaching), sama seperti kebebasan menjalankan ibadah. Kemudian, upacara-upacara keagamaan dimaknai sebagai prosesi keagamaan, penggunaan pakaian-pakaian keagamaan, dan simbol-simbol keagamaan, serta upacara-upacara keagamaan lainnya. Hal penting dalam konteks ekspresi keagamaan adalah proselitisme, yakni penyebaran/syar/memberikan informasi substansi ajaran keagamaan/kepercayaan di ruang publik.
Sudah saatnya kita berbicara proselitisme di ruang publik. Dan itu bukan hal yang terlarang. Semakin banyak gagasan keagamaan/kepercayaan dibicarakan di ruang publik, maka kita akan semakin kaya informasi/wawasan keagamaan/kepercayaan termasuk informasi tentang rumah-rumah ibadah, tanpa melunturkan keyakinan keagamaan seseorang atau sekelompok orang. Juga perlu digarisbawahi bahwa proselitisme bukanlah penodaan agama (religious defamation).
Lalu di mana tanggung jawab Negara dalam soal rumah ibadah? Ibadah merupakan ekspresi keagamaan, yang salah satu komponennya adalah mendirikan rumah ibadah dan beribadah secara bersama-sama di rumah ibadah tersebut. Pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12/2005 tidak secara rinci menjelaskan rumah ibadah, tetapi hanya menyebutkan salah satu ekspresi keagamaan adalah ibadah.
Tetapi Komentar Umum Nomor 22 atas Pasal 18 Kovenan Hak-Hak Sipol tersebut memberi penjelasan tentang ibadah, yaitu ritual dan upacara keagamaan/kepercayaan, dan secara tegas menyebutkan bangunan rumah ibadah merupakan bagian dari ritual keagamaan/kepercayaan. Jelaslah, pendirian rumah ibadah merupakan bagian dari ekspresi keagamaan/kepercayaan.
Paul M.Taylor, pakar dalam kebebasan beragama/berkeyakinan, menjelaskan hak itu tidak hanya hak untuk mendirikan rumah ibadah (to establish), tetapi juga untuk menjaga eksistensi rumah ibadah tersebut (to maintain). Di lain pihak Negara mempunyai kewajiban positif untuk secara efektif (effective), layak (reasonable), dan tepat (appropriate) untuk melindungi rumah ibadah dan situs-situs keagamaan.
Hal tersebut ditegaskan oleh Komisi Hak-Hak Azasi Manusia (HAM) Bosnia-Herzegovina di dalam putusanya atas kasus the Islamic Community in Bosnia melawan Pemerintah Bosnia Hezegovina. Kewajiban positif Negara itu membuat regulasi rumah ibadah yang tidak melanggar hak beribadah seseorang/sekelompok orang, khususnya tidak boleh diskriminatif, dan harus ada tindakan hukum yang adil jika ada pelanggaran atas hak beribadah seseorang oleh pihak ketiga.
Menarik sekali, menurut laporan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 1999 – 2000, kewajiban untuk mendaftarkan perizinan rumah ibadah seringkali dipakai oleh pemerintah untuk mengontrol keberadaan rumah ibadah. Dan ini dilakukan dengan cara-cara yang diskriminatif, misalnya mensyaratkan bentuk tertentu arsitek bangunan rumah ibadahnya, jumlah minimum penggunanya dan tindakan-tindakan lainnya.
Itu semua dapat menjadi cermin bagi kita untuk melihat aturan-aturan tentang rumah ibadah yang selama ini ada, khususnya Peraturan Bersama Menteri Dalam Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9/2006, dan Nomor 8/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Kemudian juga, Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/2009, dan Nomor 41/2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Atau juga peraturan-peraturan pendirian rumah ibadah di tingkat lokal.
Penulis bekerja di ILRC (Indonesian Legal Resource Center), Jakarta.
1.100 Tentara Korea Utara Jadi Korban dalam Perang Rusia-Ukr...
SEOUL, SATUHARAPAN.COM-Lebih dari 1.000 prajurit Korea Utara tewas atau terluka dalam perang Rusia d...