Politik Menakut-nakuti Ancam HAM Dunia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Laporan Human Rights Watch World Report 2016, yang baru dirilis, menyimpulkan berbagai pemerintahan menggunakan politik menakut-nakuti untuk menggagalkan penerapan prinsip-prinsip HAM.
“Penumpasan berlangsung terus,” kata Kenneth Roth dari Human Rights Watch, seperti diberitakan voaindonesia.com.
"Yang kami catat, selama tahun lalu, khususnya, pemimpin-pemimpin otokratik dan pemerintahan otoriter di dunia, ketakutan menghadapi masyarakat madani," katanya.
“Mereka takut karena masyarakat kini diberdayakan oleh media sosial." Negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia, kata kelompok itu, melancarkan operasi penumpasan terbesar dalam sejarah masa kini.
Baik Putin dan Xi Jinping, telah membuat pakta yang implisit dengan rakyat mereka. Mereka mengatakan, "Kami akan meningkatkan kemakmuran kalian; tetapi kalian harus membiarkan kami memerintah tanpa disertai akuntabilitas yang nyata."
"Kini, ekonomi mereka dihadapkan kesulitan dan pemimpin-pemimpin ini takut rakyat akan mulai protes.”
Human Rights Watch mengatakan, banjir migran ke Eropa yang disebabkan oleh konflik di Suriah, telah menyebabkan beberapa partai ekstrem kanan di Eropa menyebarluaskan Islamofobia, atau retorika anti-Islam.
Ia mengatakan, ketakutan beberapa gelintir migran bisa jadi teroris, mengalihkan perhatian pemerintahan Eropa dari penanggapan terhadap ekstremisme yang berasal dari unsur-unsur domestik.
Roth menambahkan, "Isunya menurut kami adalah kekacauan, aliran pengungsi yang tidak teratur. Kekacauan itu telah menimbulkan perasaan Eropa kehilangan kendali atas perbatasannya. Dan ini selanjutnya menimbulkan ketakutan akan terorisme, dan kekhawatiran ISIS akan menyusupkan operator-operatornya di antara aliran pengungsi itu,” katanya.
Namun, perang melawan terorisme di Amerika dan Eropa juga mengkhawatirkan. Roth memperingatkan agar jangan membatalkan pembatasan terhadap badan-badan intelijen, yang memanfaatkan teknik-teknik pengintaian masal, serta mengecam beberapa pemerintahan Eropa yang memperluas wewenang pemantauan. Langkah-langkah seperti ini, kata Human Rights Watch melemahkan hak-hak privasi warga.
Laporan Pelanggaran HAM di Berbagai Negara
Laporan HRW ini juga telah mengkaji 90 negara dan berbagai kawasan dunia. “Di Amerika Latin, ada pelecehan yang serius,“ kata Jose Miguel Vivanco, Direktur Human Rights Watch Divisi Amerika, seperti yang dikutip dari rilis hrw.org
"Sejauh ini, catatan HAM Kuba sama saja. Yang kita butuhkan adalah tekanan dari pemerintahan-pemerintahan demokratik di Amerika Latin, dan juga Eropa, serta kawasan-kawasan dunia lain, karena kini pemerintahan Obama menerapkan kebijakan yang cenderung bersifat isolasionis," kata Vivanco.
Juga menjadi keprihatinan adalah kartel narkoba dan korupsi di Meksiko, pelecehan oleh Pemerintah Venezuela terhadap pihak oposisi, dan kemungkinan gerilya Pasukan Militer Revolusioner Kolombia (FARC) di Kolombia bisa lolos dari peradilan, berdasarkan persyaratan proses perdamaian, yang kini sedang dirundingkan dengan pemerintah.
“Rusia dan Tiongkok, adalah salah satu pelanggar terburuk. Represi intensitas ini termasuk membatasi kelompok kritis di Rusia, dan menangkap pengacara HAM dan aktivis di Tiongkok,“ kata Human Rights Watch.
Partai berkuasa Turki, telah memimpin sebuah tindakan keras yang intens, menargetkan aktivis dan media yang kritis terhadap pemerintah.
Ethiopia dan India, yang sering menggunakan retorika nasionalis, telah dibatasi dana asing untuk menangkis pemantauan independen pelanggaran hak pemerintah.
Bolivia, Kamboja, Ekuador, Mesir, Kazakhstan, Kenya, Maroko, Sudan, dan Venezuela, telah membuat hukum yang tidak jelas, dan terlalu luas untuk mengendalikan aktivis dan melemahkan kemampuan kelompok independen untuk beroperasi.
Pemerintah Barat telah lambat untuk berbicara menentang ancaman global.
Meskipun tahun 2015 telah menjadi ancaman besar untuk HAM, juga membawa perkembangan positif.
Misalnya, kaum Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), sebelumnya sering tunduk pada hukum yang kasar, dan mendapatkan serangan yang keras dari masyarakat. Kini telah membuat langkah baru, yang menuju kesetaraan dengan legalisasi pernikahan sesama jenis di Irlandia, Meksiko, dan Amerika Serikat, dan dekriminalisasi homoseksualitas di Mozambik.
Dewan PBB untuk Hak Asasi Manusia PBB, telah menyatakan 72 negara menegaskan komitmen, untuk mengakhiri kekerasan dan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender.
Pemilu di Burma, telah dilalui dengan damai pada bulan November 2015, yang lalu. Demikian pula dengan Nigeria merayakan dengan damai pengalihan kekuasaan.
Pada bulan September 2015 lalu, PBB mengadopsi 17 tujuan pembangunan yang untuk pertama kalinya bersifat universal, dan didasarkan pada hak asasi manusia, termasuk tujuan untuk mencapai kesetaraan gender dan untuk menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...