Populisme Menghancurkan Demokrasi Sebuah Negara
DEPOK, SATUHARAPAN.COM – Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Herry Priyono mengatakan populisme yang belakangan menggejala di Indonesia dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi demokrasi yang sudah dibangun sejak lama.
Laki-laki yang biasa disapa Romo Herry ini mengatakan hal tersebut dalam seminar dengan tema “Populisme dan Tantangan Kebhinekaan di Indonesia” di Auditorium Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, hari Sabtu (25/2).
“Populisme ini tidak ada urusannya dengan teologi, populisme ditularkan kepada generasi muda lewat pendidikan dan kehidupan sehari-hari,” kata dia.
Romo Herry mendefinisikan populisme sebagai simplifikasi dari realitas politik yang digunakan aktor-aktor politik untuk melanggengkan kekuasaan.
Dia memberi contoh dalam sebuah pemilihan umum seorang warga negara yang memiliki gejala populisme akan menunaikan hak pilih atau mencoblos dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah tidak berdasar kepada penilaian yang independen, namun berdasar arahan sekelompok elit politik tertentu.
“Sehingga kalau seperti ini, proses demokrasinya menjadi berubah, jadi dalam demokrasi tidak cukup ada partai politik, tidak cukup ada KPU (Komisi Pemilihan Umum), tidak cukup ada presiden, tidak cukup ada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), tetapi sangat bergantung juga kepada agency,” kata dia.
Dia mengatakan inti dari populisme adalah menegasikan kebinnekaan, karena Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, maka populisme sama artinya dengan paham yang tidak mengakui Indonesia.
Menurut Romo Herry, manusia merupakan bagian dari kelompok identitas, tetapi manusia bertindak dan memilih sebuah sikap hidup atau politik bukan sekadar perpanjangan kelompok tertentu.
Dia mengatakan orang yang dikendalikan kelompok politik tertentu tidak pernah menjadi pribadi yang memenuhi syarat negara demokrasi.
Romo Herry mengemukakan ciri-ciri dari populisme adalah minder dan takut kepada keragaman, kemajemukan kebinekaan, memiliki sikap obsesif terhadap homogenitas, intoleran, dan sulit menemukan dasar obyektif untuk dapat hidup bersama.
“Kondisi ini disebabkan persekongkolan yang akan bertabrakan dengan demokrasi maka dalam kondisi populis seperti rupanya spektrum ideologi ini bukan pertentangan kaum kiri dan kanan, melainkan sebuah ideom ideologi terbuka dan tertutup,” kata dia.
Dia memberi contoh Brexit (di Inggris Raya) merupakan sebuah kecenderungan negara yang menutup diri, kemudian sama halnya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) saat ini, Donald Trump yang pemerintahannya cenderung menutup diri dari berbagai kebijakan.
“Dan yang terbaru, beberapa waktu lalu saya baca di The Economist, di Prancis ada (Marine) Le Pen sebagai salah satu contoh yang mengalami ketakutan, karena ketertutupan (politik) akan membuat Prancis menjadi negara yang tertutup,” kata dia.
Menurut dia sama halnya yang terjadi di Indonesia saat ini, populisme terlihat dengan banyaknya organisasi yang bersifat ekslusif keagamaan yang tertutup.
“Efeknya banyak agenda inklusif seperti reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, pemerataan lapangan kerja pengentasan kemiskinan akan kolaps karena digusur politik identitas, bahkan mereka yang sedang bertarung untuk Hak Asasi Manusia mau tidak mau harus menanggapi masalah politik identitas itu,” kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Israel dan Hamas Hampir Mencapai Kesepakatan Gencatan Senjat...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Israel dan Hamas tampaknya hampir mencapai kesepakatan gencatan senjata yang ...