Prancis Batal Menjamu Presiden Iran karena Menolak Disuguhi Anggur
PARIS, SATUHARAPAN.COM - Menjelang perjalanan resmi Presiden Iran, Hassan Rouhani, ke Eropa akhir pekan ini, pejabat Prancis dilaporkan membatalkan rencana jamuan makan malam resmi oleh Presiden François Hollande menyambut tamunya, menyusul munculnya sengketa menu di antara kedua negara.
Iran, menurut radio Prancis, RTL Radio, bersikeras agar anggur tidak disuguhkan dalam jamuan makan malam itu, selain keharusan menyediakan daging halal.
Menanggapi permintaan itu, menurut RTL, pihak Prancis membatalkan rencana jamuan makan malam lalu neawarkan sarapan diplomatik yang bebas alkohol.
Atas tawaran ini, giliran Iran yang menolaknya karena acara sarapan dianggap terlalu 'murahan.'
Oleh karena itu, kedua pemimpin tampaknya tidak akan menghadiri jamuan makan apa pun selama Rouhani di Paris. Mereka cukup puas bertemu dalam pembicaraan tatap muka belaka pada Selasa (18/11) mendatang.
Sengketa mengenai menu makanan ini mengemuka dalam kunjungan ke Eropa yang merupakan pertama kalinya bagi Rouhani sebagai presiden. Salah satu tujuan kunjungan itu adalah untuk mencanangkan terbuaknya ekonomi Iran setelah periode yang lama dikenai sanksi.
Di Eropa, Rouhani akan bertemu dengan Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi, Paus Fransiskus dan sejumlah perusahaan Italia di Roma pada hari Sabtu (15/11), sebelum berangkat ke Prancis. Di negara yang disebut terakhir, Rouhani dijadwalkan memberikan pidato di depan lembaga PBB, UNESCO, dan bertemu dengan pejabat dan pengusaha Prancis.
Juru bicara Istana Elysee menolak berkomentar langsung mengenai kontroversi anggur dan makanan halal tersebut. Tapi pertemuan keduanya ditangkap sebagai momen yang menarik, baik untuk Prancis maupun Iran.
Dalam perundingan internasional untuk mencapai kesepakatan bersejarah atas program nuklir Iran, beberapa bulan lalu, Prancis telah mengambil salah satu posisi paling keras. Kunjungan Rouhani ini dimaksudkan sebagai pemulihan hubungan - meskipun belum pasti akan menghasilkan sesuatu.
Untuk industri Prancis, taruhannya tinggi. Setelah kesepakatan nuklir yang akan mencabut sanksi-sanksi internasional bagi Iran, perusahaan-perusahaan dan pemerintah Eropa telah mengirimkan utusan ke negara itu untuk mempersiapkan diri berinvestasi setelah pintu busnis dibuka awal tahun depan.
Sayangnya, selama misi dagang Prancis ke Iran pada bulan September, eksekutif Prancis mengeluh bahwa sikap keras Paris telah membuat lebih sulit bagi mereka untuk memenangkan peluang bisnis.
Di sisi lain Prancis juga harus mengatasi perang budaya di dalam negeri. Soalnya, sayap kanan di negara itu telah menaikkan peringatan kekhawatiran atas kemungkinan "Islamisasi" yang dianggap telah merasuk ke dalam industri makanan di negara tersebut. Sayap kanan Front Nasional, misalnya, telah meningkatkan perlawanan terhadap meningkatnya outlet kebab di negara itu.
Dengan cara yang sama, kelompok garis keras di Iran menolak usulan agar kesepakatan nuklir ditujukan untuk mempromosikan pembukaan yang lebih luas hubungan dengan Barat.
Editor : Eben E. Siadari
Kepala Militer HTS Suriah Akan Membubarkan Sayap Bersenjata
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Kepala militer "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS) Suriah yang menang m...