Prancis Tuduh Turki Kirim Tentara Bayaran Suriah ke Libya
PARIS, SATUHARAPAN.COM-Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menuduh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, tidak menepati janji untuk mengakhiri campur tangan di Libya. Dia mengatakan Turki mengirim kapal-kapal dengan tentara bayaran Suriah ke negara yang dilanda konflik itu.
Ini adalah dakwaan terbaru yang dilontarkan oleh presiden Prancis terhadap Erdogan tentang berbagai masalah mulai dari Suriah hingga Mediterania dalam hubungan yang semakin tegang antara Ankara dan Paris.
"Kami telah melihat dalam beberapa hari terakhir kapal-kapal Turki yang membawa tentara bayaran Suriah tiba di wilayah Libya," kata Macron pada pertemuan dengan Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, hari Rabu (29/1) dikutip AFP.
Penempatan ini, tambahnya, adalah "pelanggaran yang jelas atas apa yang dijanjikan Presiden Erdogan pada konferensi di Berlin" di mana para pemimpin dunia berjanji untuk menghindari konflik di Libya.
"Ini adalah kegagalan untuk menepati janji," tambah pemimpin Prancis itu. Aktivis juga menuduh Turki mengirim ke Libya pejuang Suriah pro-Turki yang dilatih dalam melawan milisi Kurdi dan militan lain dalam konflik Suriah.
Namun Ankara membantah ikut campur dalam konflik itu, dan Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, mengatakan pekan lalu bahwa hanya sejumlah kecil pasukan Turki yang hadir di negara itu dan ada di sana untuk pelatihan tetapi tidak untuk berperang.
Libya telah terperosok dalam kekacauan sejak pemberontakan yang didukung NATO pada tahun 2011 yang menewaskan diktator lama Muammar Qaddafi. Dan negara itu sekarang diperintah oleh dua pemerintahan yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan.
Pejuang yang setia kepada komandan di wilayah timur, Khalifa Haftar, berjuang untuk mengambil alih kendali ibu kota Libya, Tripoli dari Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) sejak April tahun lalu.
Meskipun GNA yang lemah di bawah pemerintahan Fayez Al-Sarraj dan diakui oleh PBB sebagai pemerintah sah Libya, negara-negara anggota badan dunia itu ada yang tidak setuju menyangkut negara Afrika Utara yang kaya minyak itu.
GNA didukung oleh Qatar dan Turki, yang dituduh mengirim ratusan pejuang Suriah ke Libya untuk menopang pemerintah Sarraj yang diperangi.
Parlemen Turki bulan ini menyetujui untuk penempatan militer Turki ke Libya untuk menopang pemerintah GNA.
Awal bulan ini di Jerman, Presiden Rusia, Turki, Prancis dan Mesir, serta Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, dan Sekjen PBB, Antonio Guterres, menghadiri pertemuan puncak di mana mereka sepakat untuk mengakhiri campur tangan di Libya. Mereka juga sepakat menegakkan embargo senjata sebagai bagian dari rencana yang lebih luas untuk mengakhiri konflik di sana.
Kerja Sama Keamanan Prancis dan Yunani
Macron pada hari Rabu (29/1) menggambarkan tindakan Turki baru-baru ini sebagai "merusak keamanan semua orang Eropa dan wilayah Sahel." Dia mengacu pada wilayah utara dan selatan dalam konflik Libya.
Di selatan Libya, pasukan lokal dan asing berjuang untuk memadamkan kekerasan militan yang mengacaukan di negara-negara Sahel: Mali, Burkina Faso dan Niger. Dan ada kekhawatiran senjata dari negara Afrika Utara itu dapat membanjiri wilayah itu, di mana banyak kelompok teroris yang menempati Afrika dan menargetkan Eropa.
Macron juga mengecam apa yang dikatakannya sebagai "intrusi dan provokasi Turki" terhadap Yunani dan Siprus, dan dia mengumumkan terbentuknya kemitraan keamanan strategis antara Prancis dan Yunani.
Proyek, yang akan dirinci dalam beberapa pekan mendatang itu akan mendorong peningkatan kehadiran angkatan laut Prancis "untuk memastikan keamanan penuh dari wilayah strategis untuk Eropa," kata presiden Prancis.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...