Presiden Minta Kaji Ulang Skema Pengembangan Hutan Industri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, meminta strategi pengembangan hutan tanaman industri dikaji dan disesuaikan ulang dengan target-target yang telah ditetapkan. Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat menggelar pertemuan dengan Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
"Perintah Presiden, Saya harus lihat kembali strategi yang lalu dan saya akan lihat secara keseluruhan dan menyesuaikan dengan perkembangan dan target-target kita," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, di Kompleks Istana Presiden, Jakarta Pusat, hari Selasa (2/2).
Dalam pertemuan tersebut, kata Siti, Presiden Jokowi membahas upaya mengembangkan strategi pengembangan hutan tanaman industri. "Sekarang secara keseluruhan ada 10,7 juta hektare, tetapi yang efektif baru empat juta hektare lebih, itu menurut catatan APHI," ucapnya.
Sementara itu, kata Siti, APHI menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Misalnya, pajak dan dukungan kebijakan fiskal. Di sektor kehutanan, ada beberapa pajak yang dikenakan yaitu pungutan sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi, pajak nilai tegakan, dan PBB. APHI keberatan dengan pengenaan pajak-pajak itu.
"Saya sudah dapat mengambil keputusan untuk pajak nilai tegakan itu karena tidak ada dalam UU Kehutanan sehingga kami sudah merapatkan setelah ada gugatan secara hukum dari swasta dan saya minta dirjen dan sekjen melihat kembali," ujarnya.
Menurut dia, Presiden Jokowi meminta, bila hal itu menyulitkan pengembangan usaha dan tidak sesuai dengan dasar-dasar UU dan PP maka pengenaan pajak itu agar dihentikan. Sementara untuk pajak yang lain, Siti mengaku harus berkonsultasi dengan Menteri Keuangan. Karena pajak atau penerimaan itu merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berdasar UU.
Lebih lanjut, Siti mengatakan, masalah lain yang dibahas Presiden Jokowi dalam pertemuan tersebut adalah strategi daya saing industri kehutanan yang memiliki potensi sangat besar.
"Selama ini karena industrinya di Jawa, kayu diangkut dan diolah di Jawa sehingga harganya mahal," kata dia.
Menurut Situ, APHI juga menyoroti tidak diberlakukannya lagi SVLK berdasar Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag). Mereka mengalami kesulitan di Eropa karena dinilai dengan tidak lagi ada SVLK maka pengimpor dari Eropa harus melakukan verifikasi.
"Biaya verifikasi ini nilainya 2.000 dolar AS per kontainer. Jadi mereka merasa keberatan," tutur Siti.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...