Presiden Turki Desak Yunani Buka Perbatasan bagi Imigran Ilegal
ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Minggu (8/3) mendesak Yunani untuk membuka gerbang perbatasannya bagi imigran ilegal, yang telah menunggu di perbatasan barat laut Turki selama 10 hari terakhir untuk memasuki Eropa.
"Orang-orang ini tidak akan tinggal di Yunani. Dari sana, mereka akan transit ke negara Eropa lainnya," kata Erdogan dalam sebuah pertemuan di Istanbul yang digelar untuk memperingati Hari Perempuan Internasional.
Dia mengecam intervensi pasukan keamanan Yunani terhadap para imigran ilegal di persimpangan perbatasan Pazarkule.
Otoritas Turki mengklaim bahwa total tiga pengungsi ditembak mati oleh polisi Yunani sejauh ini.
Turki saat ini menampung lebih dari 3,7 juta pengungsi Suriah di wilayahnya. Selain itu, lebih dari 1,5 juta lainnya telah memadati perbatasannya dengan Suriah di wilayah tenggara. Para pengungsi tersebut sebagian besar merupakan wanita dan anak-anak yang melarikan diri dari perang saudara di Provinsi Idlib, Suriah.
Menurut Erdogan, masalah ini belum mendapatkan perhatian yang layak dari dunia.
"Kami telah menandatangani gencatan senjata, kendati hanya sementara. Saya berharap ini tetap bertahan," tambah pemimpin Turki tersebut, merujuk pada perjanjian gencatan senjata di Idlib yang dicapai oleh delegasi Turki dan Rusia di Moskow, ibu kota Rusia, pada Kamis (5/3) malam waktu setempat.
Sementara Organisasi Kerja sama Islam (OKI) mendesak agar keselamatan pencari suaka di perbatasan Yunani dipastikan sejalan dengan hukum hak asasi manusia.
Pengumuman pejabat Yunani bahwa para pencari suaka akan didorong kembali adalah pelanggaran hak asasi manusia dan hukum Uni Eropa, kata sebuah pernyataan oleh Komisi Hak Asasi Manusia OKI (Organization of Islamic Cooperation).
Mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 14, pernyataan itu mengatakan, "Setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka negara lain dari penganiayaan."
"Komisi itu mendukung pernyataan Komisi Tinggi Pengungsi PBB pada 2 Maret 2020, yang menyerukan agar negara-negara bagian untuk tidak menangguhkan permohonan para pencari suaka, yang dilindungi di bawah Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
“Negara juga memiliki tanggung jawab untuk tidak membeda-bedakan pencari suaka berdasarkan pandangan agama mereka. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis pencari suaka dalam jangka panjang adalah dengan menghormati hukum hak asasi manusia. Kami mengundang negara-negara OKI dan komunitas internasional untuk mendukung para pencari suaka dan menyediakan layanan untuk mereka," kata pernyataan OKI. (Xinhua/Anadolu)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...