Pribumisasi Islam di Indonesia dan Islam Nusantara
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Alissa Wahid, putri Gus Dur yang juga koordinator jaringan Gusdurian, mengatakan gagasan Gus Dur mengenai pribumisasi Islam bukan konsep yang baru. Ini merupakan istilah untuk upaya yang dilakukan oleh Wali Songo (sembilan wali), dalam menyebarkan Islam di Indonesia menggunakan strategi kebudayaan.
Konsep ini, menurut Alissa, menjadi relevan karena saat ini ada kelompok yang menginginkan politik identitas, dan identitas yang dipakai untuk kelompok Islam adalah identitas Islam Timur Tengah.
“Kita yang meyakini bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang pribumi, itu juga perlu mengakselerasi gerakan kita, untuk berkontestasi (sosial) dengan kelompok-kelompok yang menginginkan wajah Islam yang Timur Tengah di Indonesia. Sementara Islam Nusantara itu yang memotret apa yang terjadi di seleuruh archipelago (Nusantara) ini bagaimana tradisi dan kultur yang muncul. Tapi proses kita untuk menghadirkan konsep Islam Nusantara ini belum selesai sehingga ini masih harus diakselerasi,” kata Alissa Wahid.
Pada acara memperingati haul ke-9 Gus Dur, jaringan Gusdurian Yogyakarta hari Sabtu (23/2) menyelenggarakan Memorial Lecture, diskusi tentang pribumisasi Islam di Indonesia yang merupakan gagasan presiden Indonesia ke-4 itu.
Karena itu, pesan penting dalam pribumisasi Islam di Indonesia, menurur Alissa, adalah membuat wajah Islam di Indonesia yang selaras dengan budaya dan tradisi lokal.
“Ada nilai-nilai yang itu diajarkan di dalam Islam dan itu tidak bertentangan bahkan selaras dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Karena itu wujud ke-Islaman itu tidak harus dalam tampak luar yang asing dengan tradisi Indonesia. Nilai-nilai Islamnya muncul tetapi pada saat yang sama ekspresi luarnya ekspresi Indonesia. Misalnya peci, sarung, itu kan bukan ekspresi yang ada di Timur Tengah. Tetapi di Indonesia itu adalah tradisi masyarakat Islam yang justru khas Indonesia,” kata Alissa.
Itulah sebabnya, kata Alissa, ia bangga mengenakan kerudung yang mirip dengan kerudung yang biasa dipakai para nyai di Indonesia zaman dahulu.
Sementara itu, pikiran dan ajaran Gus Dur terkait dengan HAM, menurut Beka Ulung Hapsara, komisioner Komnas HAM, sangat mendukung nilai-nilai kesetaraan yang sesuai dengan prinsip HAM.
“Yang paling penting dari ajaran Gus Dur adalah penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia, itu pertama. Maka Gus Dur itu berulang kali bicara tentang kemanusiaan itu lebih penting dari politik, itu sebenarnya meletakkan konteksnya di sana. Kedua, soal kesetaraan. dalam demokrasi tidak ada yang lebih tinggi tidak ada yang lebih rendah tetapi setara. Ketika ngomong hak asasi manusia sama, penghormatan individu dan itu kesetaraan. Ketiga, bagaimana martabat kemanusiaannya,” kata Hapsara.
Ada sembilan nilai utama Gus Dur yaitu ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan. Ketika Indonesia masih menghadapi banyak masalah HAM yang kompleks seperti sekarang, menurut Beka, diperlukan tokoh bangsa yang berani seperti mendiang Gus Dur.
“Sekarang ini kita dihadapkan situasi dimana aktor-aktor politik yang ada lebih mementingkan diri dan kelompoknya jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang disepakati bersama bangsa ini, soal demokrasi, kesetaraan, Pancasila, keragaman, saya kira relevansi pikiran dan ajaran Gus Dur itu di situ. Dalam hak asasi manusia masih banyak pekerjaan rumah yang butuh keberanian untuk menyelesaikannya, dalam hal ini kita belum menemukan sosok tokoh bangsa yang seberani Gus Dur,” katanya.
Bagi Ala’i Nadjib, dosen Hukum Islam pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, begitu banyak pemikiran dan tindakan Gus Dur yang berpihak kepada kesetaraan jender, keadilan dan kemanusiaan.
“Ketika beliau menjadi presiden, Instruksi Presiden Nomor 9/Tahun 2000, harus memberi prioritas dan kebijakan bagi perempuan untuk tingkat kabupaten hingga menteri, meskipun itu buat orang-orang yang di tingkat birokrasi. Tetapi birokrasi itu kan diturunkan, ada wajib belajar, pemihakan pada reproduksi (perempuan), memberi gender-awareness kepada semua orang untuk open mind, bisa menerima dan hingga sekarang hal-hal itu masih aktual. Zaman kekinian setelah menandai reformasi Gus Dur mempromosikan perempuan untuk jadi pemimpin. Itu dituangkan dalam kebijakannya, dalam munas alim ulama NU tahun 1997, yang membolehkan kiprah perempuan di ruang publik sampai tingkatan yang tinggi,” kata Ala’i.
Menurut Ala’i Nadjib, Gus Dur dalam kapasitasnya sebagai Ketua PBNU, telah melakukan interpretasi ulang hukum Islam yang lebih kontekstual dan memberikan solusi pada masalah-masalah kekinian.
“Usaha beliau untuk me-reinterpretasi hukum Islam, pengambilan hukum Islam lewat lembaga-lembaga yang ada di NU yang membidangi yaitu bahtsul masail yang dahulu berientasi fiqih. Tetapi pada masa beliau mulai memecahkan persoalan pada undang-undang, hal-hal yang bersifat kontekstual. Misalnya waktu itu NU sudah merespons soal distribusi lahan, soal privatisasi air, soal aurat ketika rame-rame soal pornografi itu Gus Dur sudah membicarakan soal budaya,” katanya.
Sementara itu, Hairus Salim, direktur pusat Kajian Islam dan Transformasi Sosial, LKiS mendiskusikan pandangan Gus Dur mengenai budaya dan agama. Ia mengkritisi pudarnya berbagai festival dalam praktik agama Islam di berbagai daerah di Indonesia.
“Agama, semakin puritan, semakin menghilangkan festival. Nah, kalau mendatangi maulid di kota, isinya hanya ceramah. Di festival orang terlibat, ikut memiliki terhadap komunitas, festival itu hiburan. Salah satu masalah agama kita sekarang itu agama sudah tidak lagi menjadi hiburan, kegembiraan beragama itu hilang. Saya yakin, kalau kita datang ke acara keagamaan kalau isinya khotbah dari awal sampai akhir itu menjadi membosankan,” kata Hairus. (Voaindonesia.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...