Probiotik di Usus Ternyata Juga Pengaruhi Kecerdasan Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Probiotik merupakan mikrobiota baik yang terdapat di dalam usus besar dan usus kecil, yang bukan hanya berfungsi menjaga kesehatan pencernaan saja, tetapi juga mempengaruhi otak yang akan menentukan kognitif (kecerdasan) anak. Probiotik yang terdapat di usus bernama Lactobacillus reuteri.
Happy Tummy Council menjelaskan manfaat probiotik tersebut dalam acara bertajuk “Gut-Brain Axis: Pencernaan Sehat Awal si Kecil Cerdas,” di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (3/4) yang diselenggarakan Nestle.
Salah satu anggota Happy Tummy Council, Dr. Saptawati Bardosono, M.Sc, biasa disapa dokter Tati, pakar gizi medik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) menekankan pentingnya ASI (air susu ibu) sebagai sumber utama probiotik dan prebiotik untuk bayi.
Prebiotik adalah makanan yang tidak dapat dicerna secara sempurna, sehingga harus dikeluarkan dari tubuh. Tetapi prebiotik juga mempunyai fungsi lain yaitu menjadi makanan probiotik.
Mikrobiota paling banyak terdapat di usus besar, fungsi probiotik di usus besar sendiri untuk melancarkan pencernaan. Sedangkan di usus kecil, probiotik berfungsi menyerap zat-zat makanan dan menjaga kesehatan saluran cerna.
“L.reuteri merupakan jenis probiotik yang ditemukan di usus, dan terdapat di dalam kandungan ASI. Bayi yang mengalami diare atau kolik, di ususnya itu berarti sedang kekurangan L.reuteri,” ujar Tati.
Beda halnya jika bayi tidak beruntung mendapatkan ASI, karena faktor ibunya yang tidak mau menyusui atau ASI tidak bisa keluar. Maka, bayi perlu diberikan susu formula.
“Supaya bisa menyamai kandungan ASI yang ada probiotiknya, maka susu formula itu harus diperkaya dengan probiotik. Karena diperkaya, tentunya yang beli juga orang-orang kaya, karena mahal harganya,” canda Tati.
Dalam kesempatan tersebut, Tati juga menuturkan ada sebuah penelitian di Swedia dan Jepang. Di Swedia, kandungan L.reuteri dalam ASI para ibu yang tinggal di desa ditemukan lebih banyak daripada di kota. Sedangkan di Jepang, baik masyarakat desa maupun kotanya memiliki jumlah yang sama banyaknya. Ternyata hal baik itu berasal dari kebiasaan orang Jepang makan lobak. Lobak merupakan sumber probiotik alami.
Konsep Gut-Brain Axis
Selama ini kita mengenal pencernaan hanya untuk menyerap makanan, kemudian makanan berguna untuk tumbuh kembang anak dan meningkatkan kecerdasan, seperti disampaikan Dr. Ahmad Suryawan Sp.A(K), biasa disapa dokter Wawan, yang juga anggota Happy Tummy Council.
Dokter Wawan merupakan spesialis anak konsultan, pakar pediatrik tumbuh kembang dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokeran Universitas Airlangga Surabaya. Ia menjelaskan Konsep gut-brain axis adalah komunikasi dua arah antara saluran cerna dan otak.
“Konsep gut-brain axis dipengaruhi oleh mikrobiota di dalam pencernaan seseorang, di mana komunikasinya terjadi dua arah. Jika sesuatu terjadi pada pencernaannya, maka otaknya ikut terganggu, dan sebaliknya,” Wawan menuturkan.
“Komunikasi antara otak-pencernaan, misalnya seorang anak ketika disuapi oleh ibunya yang marah-marah karena tidak sabar anaknya makan dengan sangat lama atau sembari berlarian ke sana ke mari, maka itu menyebabkan stres pada anak,” lanjutnya.
Ternyata dengan teknologi zaman sekarang telah menemukan komunikasi otak-pencernaan hanya berpengaruh 20 persen terhadap kondisi tubuh, sedangkan pencernaan-otak 80 persen, karena di dalam pencernaan ada enteric nervous system. Sehingga persepsi dulu bahwa otaklah yang mempengaruhi saluran cerna adalah kurang tepat.
“Usia 0-2 tahun merupakan masa kritis bagi perkembangan otak (brain development), di mana hormon-hormon untuk merespon stres mulai terbentuk. Kalau terjadi ketidakmampuan anak mengelola gut-brain axis, maka kecerdasan yang baik gagal terbentuk, meskipun nutrisinya berkualitas,” kata Wawan.
Penelitian Transplantasi Feses Pada Tikus
Dikatakan oleh dokter Wawan, ada suatu penelitian yang dilakukan menggunakan anak tikus, karena tikus dianggap memiliki saluran cerna yang hampir mirip manusia. Pada dua anak tikus, yang satu bersifat normal, dan yang lainnya bersifat hiperaktif, dilakukan transplantasi feses.
Kemudian pada tikus hiperaktif, saluran cernanya disterilkan terlebih dahulu, setelah itu ditanamkan feses dari tikus normal. Lalu apa yang terjadi?
Tikus hiperaktif menjadi sembuh. Penelitian lainnya dengan pemberian probiotik dengan dosis tertentu, juga berhasil pada tikus.
Apabila kolonisasi mikrobiota normal yang ditanamkan ke dalam kolonisasi mikrobiota bermasalah menang, maka yang berubah adalah perilaku individu tersebut, bukan hanya kesehatan saluran cernanya. Sehingga dihasilkan suatu kesimpulan bahwa seorang anak usia 0-2 tahun yang tidak sehat saluran cernanya, sama saja dengan anak yang selalu dimarahi sampai mengalami stres.
Maka, Wawan mengimbau, berhati-hatilah pada pemberian antibiotik, karena berdasarkan penelitian pada anak tikus tersebut, pemberian antibiotik bukanlah menyembuhkan kolik atau diare, tetapi justru mengubah perilaku. Maka jangan mengkonsumsi antibiotik dengan dosis sembarangan.
Pada anak dampaknya bisa jauh lebih besar, bukan hanya pada pencernaan tetapi juga pada perilakunya. Maka berhati-hatilah jika harus memberikan antibiotik pada anak usia 0-2 tahun, agar senantiasa bertanya terlebih dahulu kepada dokter anak.
Editor : Bayu Probo
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...