Profesor Irwanto: Pembawa Agama Baha'i Tokoh Luar Biasa
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Profesor Irwanto Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta menyebut Baha’u’llah, pembawa agama Baha'i, sebagai tokoh luar biasa.
Dia menilai Baha’u’llah adalah seseorang yang menjalani hidup dengan sangat luar biasa. Dia merefleksikan tiga aktor dari satu kondisi. Hidup diatur dalam sebuah struktur. Ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai.
"Pada saat Baha’u’llah hidup, kekuasaan digunakan untuk memecah belah orang. Kekuasaan tidak dipakai untuk menyatukan. Bahkan untuk menghancurkan bangsa dan manusia yang lain. Itulah mengapa sejarah Timur Tengah di mana perang terus terjadi. Bahkan sampai dengan hari ini," kata Irwanto pada peringatan 200 tahun kelahiran Baha’u’llah di Jakarta, Sabtu (21/10).
Baha’u’llah lahir pada 1817 di Teheran, Iran. Putera pejabat pemerintahan yang kaya, Mirza Buzurg-i-Nuri. Nenek moyangnya adalah keturunan dinasti kekaisaran Iran. Baha’u’llah menerima pendidikan tinggi sebagai seorang bangsawan. Dia hidup mengabdikan dirinya kepada masyarakatnya daripada menikmati kekuasaan dan dalam kemewahan sehingga dikenal sebagai 'bapa orang miskin' pada awal 1840-an.
Baha’u’llah pada 1848 ditangkap dan dipenjara karena menjadi pengikut Bab. Setelah itu hidup di pengasingan. Baha’u’llah pada 1863 pertama kali menyatakan diri menerima wahyu ilahi. Setelah itu dia mengalami sejumlah penganiayaan sehingga terpaksa hidup dalam pembuangan dan keluar masuk penjara. Walau menjalani kehidupan dalam pembuangan dan keluar masuk penjara,
Baha’u’llah menyerukan persatuan umat manusia. Dia menyerukan ini dalam surat-suratnya yang dikirim ke sejumlah pemimpin dunia di Eropa, Turki, Persia, dan Amerika Serikat.
"Dalam surat-suratnya kepada pemimpin dunia, Baha’u’llah jelas sekali menyatakan 'mari kita ubah kekuasaan seperti ini'. Marilah kita gunakan kekuasaan itu untuk melindungi, mensejahterakan rakyat, dan menjadi contoh keadilan. Ketika kamu khawatir kekuasaanmu tidak akan tetap ada maka kamu tidak akan berani mengambil keputusan yang benar. Saya kira itu yang diinspirasikan Baha’u’llah. Ketika anda sangat khawatir dengan kekuasaan anda maka orang kecil semacam Baha’u’llah itu menjadi musuh besa," kata Irwanto.
Profesor Irwanto menilai saat kekuasaan bisa ditransformasi menjadi kekuasaan yang berempati, melindungi, dan berkeadilan maka akan mengarah kepada persatuan umat manusia.
"Karena itu yang diperlukan kolaborasi. Kolaborasi akan memungkinkan ketika kita menyingkirkan kepentingan sendiri. Keinginan untuk menguasai orang lain tidak mungkin itu terjadi. Kita sedang mengupayakan apa yang diupayakan Baha’u’llah. Setiap pemimpin itu bertanggungjawab pada setiap jiwa. Bukan sekelompok tertentu. Tetapi bagaimana mungkin karena manusia itu berbeda-beda. Hal ini mengingatkan saya. Ketika kita mampu memandang diri sendiri dan orang lain sebagai makhluk spiritual maka hilanglah segala potensi konflik karena perbedaan," pungkasnya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...