Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 16:46 WIB | Kamis, 30 Januari 2014

Profil Hafez Al-Assad: Pendiri Dinasti Al-Assad di Suriah

Hafez Al-Assad. (Foto: Ist)

SATUHARAPAN.COM – Perundingan antara pemerintah dan oposisi Suriah baru tahap awal. Namun jika pada akhirnya komunike Jenewa I yang dibahas, makan akan menghasilkan terbentuknya pemerintahan transisi. Apakah hal ini berarti berakhirnya dinasti Al-Assad di Suriah?

Dalam konferensi Jenewa II yang tengah berlangsung dengan ditengahi  Wakil Khusus PBB-Liga Arab, Lakhdar Brahimi, pihak oposisi bersikeras dengan pembahasan pemerintah transisi tanpa melibatkan Presiden Bashar Al-Assad. Sedangkan delegasi pemerintah masih pada posisi membahas masalah keamanan dan terorisme. Hal itu berarti semua kelompok bersenjata.

Masalah utama ini tampaknya masih jauh, namun komunike Jenewa I bisa berarti akhir kekuasaan keluarga Al-Assad di negeri itu  selama hampir setengah abad. Berikut ini profile Hafez Al-Asad, ayah Bashar Al-Assad.

Hafez Al-Assad lahir pada 6 Oktober 1930 dan meninggal 10 Juni 2000 pada umur 69 tahun. Dia adalah presiden Suriah untuk tiga kali masa jabatan berturut-turut, dan kemudian digantikan anaknya, Bashar Al-Assad yang menjabat sejak tahun 2000 hingga saat ini.

Al-Assad berasal dari keluarga Alawite yang merupakan cabang Islam Syiah. Hafez bergabung dalam Angkatan Udara Suriah dan merupakan anggota pendiri Partai Ba'ath. Dia mempunyai posisi yang menguntungkan pada kudeta di Suriah tahun 1966, sehingga kemudian menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Dalam perlawanan terhadap Israel, Hafez terlibat dalam Perang Enam Hari pada tahun1967, dan juga dissebut-sebut terlibat peristiwa September Hitam, ketika Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan dukungan Suriah  mencoba menggulingkan Raja Hussein bin Talal dari Yordania.

Hafez Al-Assad  menjadi Presiden pada Februari 1971, dan dia berkuasa sampai tahun Juni 2000. Kekuasaannya yang lebih dari 30 tahun menjadikan dia satu tokoh yang paling berpengaruh di Timur Tengah.

Lawan Israel

Pada Perang Enam Hari  melawan Irsael, Suriah kehilangan dataran tinggi Golan, dan mencoba merebut kembali dalam Perang Yom Kippur 1973. Pada perang ini Suriah mendapat sedikit kemajuan dalam perimbangan militer melawan Israel, dan menjadi lawan Israel yang diperhitungkan.

Suriah juga mengirim pasukan dan terlibat di Libanon selama huru-hara akibat perang saudara di negara itu (1975-1989). Kelompok Hizbullah di Libanon selatan merupakan tangan Suriah di kawasan itu hingga sekarang. Namun keterlibatan kekuatan militer Suriah tidak berjalan mulus, terutama setelah kekalahan dalam Insiden Lembah Beka'a serta masuknya tentara Israel ke Libanon Selatan dalam Invasi Israel atas Libanon 1982 (Operasi Perdamaian Galilea).

Keterlibatan Suriah melawan Israel juga ditandai dengan dibukanya Homs sebagai tempat pengungsian bagi warga Palestina yang sebelum pecah perang saudara di negeri itu menampung tak kurang dari 18.000 warga Palestina.

Meskipun gagal, kehadiran militer Suriah yang awalnya untuk mendukung milisi Druze di Libanon diakui mampu mengimbangi kekuatan Israel serta mempercepat perdamaian di Libanon, terutama setelah PBB, Amerika Serikat dan Perancis  gagal dalam menciptakan perdamaian di sana.  Perdamaian di Libanon terwujud setelah Perjanjian Thaif tahun 1989.

Represif pada Kelompok Islam

Haffez Al-Assad menjadi  kekuatan penting dalam politik di dalam negerinya dan kawasan Timur Tengah yang panas. Dia bahkan pernah menentang mayoritas negara-negara Arab ketika Suriah berpihak kepada Iran dalam Perang Iran-Irak (1980-1988). Demikian juga Suriah menunjukkan diri dengan kritik pada Irak selama Perang Teluk pertama tahun 1991. Sikap ini memang dihargai Amerika Serikat ketika itu.

Hafez  yang memiliki mesin politik partai Ba’ath, justru bertentangan dengan Irak di bawah Saddam Hussein yang juga didukung dengan mesin politik Partai Ba’ath. Partai ini sama-sama mengagungkan Nasionalisme dan Sosialisme Arab. Namun Hafez dan partainya memiliki konflik panjang dengan presiden Saddam Hussein dan Partai Ba'ath di Irak.

Hafez sempat mengambil sikap mnoderat pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya dan mendapatkan kembali sebagian Dataran Tinggi Golan. Namun demikian Suriah belum pernah membuat persetujuan damai dengan Israel, seperti halnya Mesir.

Peran Hafez menentukan dalam konflik Timur Tengah. Dia menjadi tokoh kunci pembebasan sandera pesawat maskapai penerbangan TWA dari Amerika Serikat di Beirut yang dibajak kelompok gerilyawan pada tahun 1984. Militer Suriah termasuk yang kuat dalam menghadapi Israel.

Namun demikian, di bawah kekuasaan Hafez, pemerintahan Suriah dikecam sebagai pemerintahan diktator militer dengan rezim Partai Ba’ath. Hal ini yang menimbulkan bibit-bibit perlawanan di dalam negeri yang kemudian muncul dalam protes pada Maret 2011.

Pemerintah Suriah di bawah Hafez disebut bertindak represif terhadap kelompok gerakan Islam yang dianggap oleh Partai Ba’ath sebagai ancaman atas kekuasaannya. Pada 1979 ketika terjadi serangan pada sekolah kader militer di Aleppo, di Suriah bagian Utara, dan kantor Partai Ba'ath.  Partai Ba’ath menuduh Ikhwanul Muslimin yang melakukan.  

Aksi demo besar-besaran di Hama, Homs, dan Aleppo pada Maret 1980 juga dituduhkan pada kelompok Islam di Mesir ini. Ketika Mohammed Morsi menjadi Presiden Mesir, pemerintah Suriah melancarkan kritik yang tajam, dan membenarkan ketika Morsi digulingkan.

Aksi militan Islam di Suriah mendorong Hafez Al-Assad lebih ketat dalam melaksanakan kebijakan represifnya terutama terhadap kelompok ini, termasuk Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. Tindakan kekerasan memuncak dalam peristiwa berdarah Hama awal 1980-an.

Hafez Al-Assad meninggal pada 10 Juni 2000. Media-media barat menulis berita kematiannya tentang ungkapan emosional rakyat Suriah, namun tidak jelas apakah karena kecintaannya atau ketakutannya. Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Bahsar Al-Assad. (dari berbagai sumber)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home