Profil Johannes Marliem Saksi Kunci E-KTP yang Bunuh Diri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Salah seorang saksi kunci kasus korupsi e-KTP, Johannes Marliem, diberitakan meninggal karena bunuh diri di Los Angeles, Amerika Serikat.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo dan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, membenarkan adanya berita tersebut.
Johannes merupakan salah satu saksi penting di kasus e-KTP. Dia mengakui pihak Polri bahkan mendatanginya di tempat tinggalnya di Amerika Serikat untuk memperoleh informasi, termasuk keterlibatan Setya Novanto.
Dalam wawancara dengan Tempo, belum lama ini, ia mengatakan memiliki banyak rekaman terkait dengan kasus e-KTP. “Hitung saja. Empat tahun dikali berapa pertemuan. Ada puluhan jam rekaman sekitar 500 GB,” kata dia. “Mau jerat siapa lagi? Saya punya,” ujarnya.
“Saya dapat info Johanes meninggal dunia. Kami belum dapat info rinci karena ini terjadi di Amerika,” kata Jubir KPK, Febri Diansyah, Jumat (11/8), dikutip dari detik.com.
Johannes Marliem adalah direktur Biomorf Lone LLC, Amerika Serikat, sebuah perusahaan penyedia layanan teknologi biometrik. Perusahaannya menyediakan produk automated finger print identification system (AFIS) merek L-1 untuk proyek e-KTP.
Nama Marliem muncul sesudah nama Setya Novanto ditetapkan jadi tersangka. Nama Johannes disebut 25 kali oleh jaksa KPK dalam persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Kendati demikian ia belum pernah dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan perkara tersebut.
Sesudah kasus e-KTP terbongkar, Johannes meninggalkan Indonesia dan tinggal di Singapura dan Amerika Serikat.
Dalam wawancara dengan Tempo, ia ditanyi tentang kemungkinan memiliki rekaman keterlibatan Ketua DPR, Setya Novanto.
“Ngapain dua direktur KPK jauh-jauh ke Amerika kalau tidak ada apa-apa. Isi pembicaraannya tanya saja ke KPK karena sudah terlalu detail,” kata dia. Namun, ia membantah mendapat aliran uang dari Setya Novanto. “Enggak ada itu. Dari konsorsium, iya,” katanya, terkait uang yang diterimanya disebut-sebut sejumlah 14,8 juta dolar Amerika dan Rp 25,2 miliar.
Mengenai alasannya merekam setiap pertemuan sejak awal pembahasan proyek e-KTP itu, kepada Tempo, Johannes Marliem mengatakan, “Tujuannya cuma satu: keeping everybody in honor,” kata dia.
Kepada Kontan, ia beralasan membuat rekaman itu untuk membantu daya ingatnya yang lemah. "Seperti wartawan kan selalu merekam juga. Hanya sebagai catatan dan referensi. Soalnya, daya ingat saya lemah," kata dia.
Ia mengatakan merekam pembicaraan sudah lazim di Amerika Serikat. Ia pun mencontohkan, Presiden AS Donald Trump saja merekam pembicaraan dengan Direktur FBI, James Comey.
Dia pun memahami dalam hukum di Indonesia, bukti rekaman tersebut tidak bisa dijadikan barang bukti di pengadilan, terutama setelah gugatan Setya Novanto usai kasus "Papa Minta Saham" dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, guna membantu penyidikan kasus yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini, ia memberikan rekaman pada KPK.
"Yang meminta (rekaman) itu KPK. Dan saya juga tidak tahu detil di rekaman itu ada siapa saja," kata dia, kepada Kontan.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan, meninggalnya Johannes tidak akan menganggu penyidikan kasus e-KTP. Menurutnya, penyidikan e-KTP akan tetap berjalan karena KPK sudah memiliki bukti yang sangat kuat.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...