Program dan Bentuk Pengobatan Baru HIV/AIDS
JAKARTA, SATUHARAPAN .COM – Persentase faktor risiko AIDS tertinggi di Indonesia adalah hubungan seks berisiko pada heteroseksual 67 persen, dan dari ibu positif HIV ke anak 4 persen. Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 54 persen dan perempuan 29 persen. Sementara itu 17 persen tidak melaporkan jenis kelamin, jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (6.539). Faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual 61,5 persen, diikuti penularan melalui perinatal 2,7 persen, demikian yang dikemukakan oleh Prof. dr Tjandra Yoga Aditama Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbangkes) Kemenkes di Jakarta (1/11).
Sampai dengan September 2014, layanan HIV-AIDS yang aktif melaporkan data layanannya, sbb: 1.391 layanan Konseling dan Tes HIV (KTS), 182 layanan PPIA (Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak). Adapun upaya dasar program Kementerian Kesehatan untuk mengendalikan HIV dan AIDS tertuang dalam pendekatan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang sudah dimulai dan terus dikembangkan ke kabupaten/kota lainnya sebagai strategi yang menyeluruh, hal ini seperti yang bertujuan untuk,
Pertama, meningkatkan akses dan cakupan terhadap upaya promosi, pencegahan dan pengobatan HIV&IMS ((Human immunodeficiency virus dan Infeksi Menular Seksual), serta rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring layanan hingga tingkat puskesmas, termasuk layanan untuk populasi kunci.
Kedua, meningkatkan pengetahuan dan rasa tanggung jawab dalam mengendalikan epidemi HIV dan IMS di Indonesia, dengan peningkatan koordinasi antar layanan HIV, melalui peningkatan partisipasi komunitas dan organisasi masyarakat madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkat cakupan dan kualitas.
Ketiga, memperbaiki dampak pengobatan HIV dengan mengadopsi prinsip “treatment 2.0” dalam model layanan terintegrasi dengan desentralisasi di tingkat kabupaten/kota.
Dr Tjandra menambahkan, bahwa Kementerian Kesehatan telah meluncurkan inisiatif penggunaan Anti Retro Viral (ARV), sebuah terapi yang menggunakan tiga jenis kombinasi obat anti viral yang bertujuan menekan replikasi HIV didalam tubuh manusia. Obat ini harus diminum secara teratur, seumur hidup ODHA tanpa boleh terputus untuk menghindari terjadinya resistensi obat. Terapi ini digunakan untuk pengobatan dan pencegahan atau dikenal dengan SUFA (Strategic Use of ART), atau yang dikenal juga dengan slogan TOP (Temukan, Obati dan Pertahankan) yang bertujuan meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ARV serta meningkatkan retensi terhadap ARV yang diperkuat dengan Permenkes No. 21 tahun 2013.
Kebijakan ini mendorong penemuan kasus lebih dini dengan menawarkan tes HIV bagi ibu hamil, pasien TB, pasien IMS, pasien Hepatitis dan mereka yang mempunyai pasangan HIV positif serta semua populasi kunci (Lelaki Seks Lelaki, Waria, Pekerja Seks dan Pengguna Narkoba Suntik).
Program pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) dirumuskan demikian, memberikan informasi PPIA pada semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatanan ibu, KB dan konseling remaja. Di daerah epidemi yang meluas, petugas wajib menawarkan test HIV dan Sifilis kepada semua ibu hamil secara inklusif dengan pemeriksaan rutin lainnya melakukan monitoring dan evaluasi secara berjenjang
Kegiatan yang dilaksanakan secara lebih komprehensif lagi adalah, melalui pencegahan terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi, melalui prinsip ABCD (Absen seks, Bersikap saling setia, Cegah dengan kondom, Dilarang menggunakan Napza), mencegah kehamilan tidak direncanakan pada ibu dengan HIV. Perempuan dengan ODHA tidak dianjurkan untuk hamil lagi. Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV ke bayi yang dikandungan, berupa: persalinan yang aman, pelayanan nifas, memberikan dukungan psikologis, pemantauan terapi Anti Retro Viral(ARV), informasi dan edukasi diagnosis HIV pada bayi, penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya.
Untuk mencegah penularan ke anak maka upaya deteksi dimulai dengan melakukan penawaran tes kepada Ibu hamil, untuk mengetahui status HIVnya. Kebijakan Kemkes saat ini adalah ibu hamil yang HIV positif untuk segera di berikan ARV tanpa melihat berapapun nilai CD4 nya atau jenis sel darah putih atau limfosit.
Upaya pencegahan infeksi juga dilakukan pada suami atau pasangannya, yang umumnya merupakan lelaki beresiko tinggi/lelaki yang membeli seks. Pada ibu hamil/wanita dengan gejala IMS atau HIV positif maka pasangan atau suaminya harus juga diminta untuk melakukan pemeriksaan IMS dan HIV.
“Dengan menemukan kasus lebih dini, diharapkan mereka akan mendapatkan terapi ARV lebih cepat, sehingga dapat menekan risiko penularan. Saat ini ARV dapat diberikan kepada mereka yang mempunyai CD4 (jenis sel darah putih atau limfosit),” kata dr Tjandra.
Untuk pengobatan,saat ini sudah disediakan obat yang dalam bentuk kombinasi 3 jenis obat ARV dalam 1 tablet (tripel FDC = isinya tenovofir, emtricitabin dan epavirens), sehingga lebih mudah bagi ODHA untukmeminumnya, efek samping lebih minimal dankepatuhan akan lebih baik.
Deteksi dini pengidap HIV semakin membaik yang ditandainya semakin banyak orang mengetahui status HIVnya. “Kita masih harus mengakselerasi upaya penemuan pengidap HIV,sehingga 70%-80% dari estimasi ODHA bisa kita deteksi dalam mencapai tujuan Getting to Zero ( Zero infeksi baru, Zero kematian ODHA, dan zero stigma dandiskriminasi), “ kata dr Tjandra. (litbang.depkes.go.id)
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...