Prostitusi di Indonesia Membutuhkan Undang-undang?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Deding Ishak menilai dibutuhkan Undang-undang Anti-Prostitusi untuk mengatasi maraknya aksi prostitusi belakangan ini, baik melalui dunia maya ataupun yang tersebar di secara nyata di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
"Saya yakin untuk mengatasi merebaknya prostitusi itu bukan dengan lokalisasi, tetapi dengan UU Anti-Prostitusi," ujar Deding seperti dikutip dari Antara, Selasa (26/5).
Dia juga melihat pentingnya mengintegrasikan UU Anti-prostitusi ini dengan UU anti-Pornografi dan Pornoaksi, UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sebab, Deding melihat UU untuk menindak aksi prostitusi yang ada saat ini masih lemah, UU anti-Pornografi dan Pornoaksi, UU ITE maupun KUHP belum cukup kuat untuk meredam aksi prostitusi yang kian merebak.
"Jadi adanya UU anti-Pornografi dan pornoaksi, UU ITE maupun KUHP tetap harus dimanfaatkan untuk mencegah aksi prostitusi. Namun semua undang-undang ini harus diintegrasikan dengan UU anti-Prostitusi dengan penekanan yang dikhususkan untuk mencegah aksi prostitusi," ujar dia.
Tinggal Tambah Bab
Pandangan berbeda disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh Daulay kepada satuharapan.com, pada Senin (18/5) lalu. Menurut dia, sebaikanya aturan terkait prostitusi dimasukan ke dalam UU yang sudah ada, seperti UU anti-Pornografi dan Pornoaksi, UU ITE dan KUHP.
Sebab, bila membuat UU baru seperti UU Anti-Prostitusi membutuhkan waktu panjang dan kajian mendalam. “Kita jangan terlalu banyak UU, kalau bisa yang sudah ada dilihat lagi, misalnya dalam UU anti-Pornografi dan Pornoaksi tinggal ditambahkan satu bab yang isinya lima sampai enam pasal untuk payung hukum mencegah aksi prostitusi,” ujar dia.
“Termasuk menjerat pelanggan dan pelaku aksi prostitusi tersebut,” Saleh menambahkan.
Politisi PAN tersebut berpendapat, membuat sebuah UU tidak semudah yang dipikirkan, akan lebih cepat menambahkan bab dan pasal pada UU yang sudah ada. “Pandangan ini baru (UU Anti-Prostitusi), kalau mau ditindaklanjuti ini harus kita bicarakan di Badan Legislasi DPR RI dan belum tentu pas isu itu menjadi domain Komisi VIII, kalau arah penegakan hukum lebih pas ke Komisi III, karena mereka yang punya mitra dengan Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Polri,” tutur Ketua Komisi VIII DPR RI itu.
Dia menjelaskan, Komisi VIII DPR RI hanya bisa memberi pandunag dan pandangan terkait etika moral kebangsaan.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...