Puasa untuk Latihan Membangun Empati
SATUHARAPAN.COM - Dalam sebulan ke depan umat Muslim di seluruh dunia memasuki ibadah puasa. Di Indonesia, warga Muhammadiyah telah menetapkan memulai puasa pada Selasa (9/7) dan umat Muslim lainnya bersama penetapan oleh pemerintah memulai puasa pada Rabu (10/7).
Ibadah puasa bisa dimaknai dan ditafsirkan dalam banyak hal, dan puasa mempunyai nilai keagamaan (spiritual) dan juga sosial. Selama 30 hari berpuasa umat Muslim tidak makan dan minum pada siang hari (dari magrib sampai subuh). Hal ini bisa dimaknai sebagai latihan pengendalian diri terhadap rasa lapar, dan membangun kehidupan kerohanian yang lebih baik.
Rasa lapar yang dialami selama menjalani puasa bisa menjadi sarana untuk membangun empati, terutama kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan. Ikut merasakan apa yang dialami oleh orang lain yang tidak bisa memenuhi kebutuhan makannya secara cukup.
Dalam konteks Indonesia, di mana masih terjadi banyak kesenjangan, puasa ini memperoleh urgensinya untuk dimaknai sebagai upaya untuk membangun empati. Sebuah karakter yang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, dan karenanya bisa saling membantu dan membangun relasi antar sesama dengan damai.
Dalam terminologi Jawa empati sering disebut tepa slira, karena kita bisa menyikapi kehidupan ini dengan menempatkan diri dan dengan sudut pandang orang lain. Oleh karena itu, empati yang dibangun melalui memontum puasa tidak saja relevan bagi umat Muslim, tetapi bagi umat lain yang tidak berpuasa.
Pertama empati dibangun bagi umat Muhammadiyah yang telah memulai puasa pada Selasa (9/7) ini, sehingga umat Muslim yang memilih memulai puasa pada sehari kemudian bisa menghargai pilihan saudara umat Muhammadiyah. Demikian juga sebaliknya. Warga bangsa yang tidak puasa juga menghargai dan ikut menciptakan suasana di mana umat Muslim bisa beribadah dengan baik.
Bangsa Indonesia juga memerlukan terbangunnya empati untuk sesama bangsa yang menderita karena bencana yang mereka alami, seperti saudara kita di Kabupaten Aceh Tengah dan Mener Meriah. Mereka kehilangan keluarga dan harta, bahkan kehidupan mereka akibat gempa bumi. Berbagai pihak telah menunjukkan kepeduliannya dengan memberikan bantuan bagi mereka.
Kita juga harus membangun empati bagi warga bangsa lain yang masih di pengungsian, seperti saudara kita warga Muslim Syiah dari Sampang yang berada di pengungsian di Sidoarjo. Juga warga Ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat dan wilayah lain. Keadaan yang mereka alami justru karena kita kehilangan empati pada nasib sesama.
Kita juga harus membangun empati bagi warga bangsa yang secara ekonomi berada pada lapisan paling bawah. Yang kesulitan dan memenuhi kebutuahn sehari-hari untuk makan, yang tidak mempunyai tempat tinggal yang layak, anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan dan yang sakit tanpa pelayanan kesehatan.
Di tengah situasi seperti itu, kita menyaksikan uang negara dijarah oleh koruptor , bantuan untuk yang miskin tidak sampai sasaran. Hal ini terjadi karena kita miskin empati. Korupsi terjadi justru karena pelakunya jenis orang yang tidak punya empati dan tidak peduli bahwa dana yang mereka curi adalah uang negara yang dikumpulkan, termasuk dari mereka yang paling miskin.
Momentum puasa sangat penting untuk membangun empati bagi segenap warga bangsa, dan dengan begitu kohesi kebangsaan akan semakin kuat. Ikatan ini akan menjadi kekuatan untuk tidak membiarkan seorang pun warga bangsa ini mengalami penderitaan oleh perilaku yang lain.
Selamat menjalani ibadah puasa, semoga Sang Pencipta memberi kekuatan dan anugerah, serta kemampuan berempati bagi kita semua.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...