Wajib Belajar Sembilan Tahun: Masih Ada?
SATUHARAPAN.COM – Ketika seorang gadis dari Pakistan, Malala Yousafzai, berpidato di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York untuk memperjuangkan hak memperoleh pendidikan, Jumat (12/7), anak-anak di Indonesia mengakhiri masa libur dan pekan selanjutnya memasuki masa sekolah. Namun masih ada jutaan dari mereka yang terabaikan, dan tidak memperoleh haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Malala adalah gadis yang sekarang berusia 16 tahun. Dia ditembak oleh kelompok Taliban di kawasan lembah Swat, di Pakistan Utara pada 9 Oktober 2012 ketika berada dalam sebuah bus. Beberapa temannya tewas oleh peluru Taliban.
Dia terluka di bagian kepala kiri dan leher, tetapi nyawanya terselamatkan. Dengan operasi di tengkorak kepalanya, sekarang Malala bisa sekolah lagi di Birmingham di Inggris. Dia ditembak, karena Taliban tidak mengizinkan anak perempuan bersekolah. Malala bukan hanya menolak pandangan itu, tetapi dia bahkan melawannya dengan kampanye bagi hak anak perempuan bersekolah.
Teror oleh Taliban tidak menghentikannya untuk berjuang. Dia bahkan menggalang dana untuk program pendidikan bagi anak-anak perempuan. Di markas PBB pekan lalu, dia dengan tegas menyatakan hak anak-anak perempuan untuk bersekolah dengan aman.
Mungkin tidak banyak anak-anak di Indonesia yang mendengarkan pidatonya yang berjuang untuk anak-anak di seluruh dunia, bahkan para pejabat yang bertanggung jawab atas pendidikan pun tidak memberikan atensi. Namun demikian, pernyataan Malala bukan hanya untuk anak-anak perempuan, tetapi juga laki-laki; bukan hanya untuk anak-anak di lembah Swat di Pakistan, tetapi seluruh pelosok dunia, juga bagi anak-anak di Indonesia.
Pernyataannya sangat relevan bahwa pendidikan adalah solusi, ilmu pengetahuan adalah senjata yang ampuh. Sayangnya di Indonesia, pendididkan salah satu sektor penting yang pengelolaannya amburadul. Sistem evaluasi yang dilakukan secara nasional belakangan ini menunjukkan pengelolaan pendidikan dilakukan dengan cara berpikir kaku dan birokratif, sehingga kualitas pendidikan berjalan di tempat, bahkan ada yang menyebutnya mundur.
Tentang hak untuk mendapatkan pendidikan saja, sudah belasan tahun Indonesia menyatakan wajib belajar sembilan tahun. Artinya, tidak boleh ada anak di Indonesia yang tidak sampai lulus pendidikan tingkat sekolah lanjutan pertama. Faktanya, masih terlalu banyak anak di Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan dasar. Pemerintah terus mengabaikan, sementara korupsi terus terjadi, dan biaya pendidikan makin mahal.
Sebagai gambaran, data BPS tentang penduduk Indonesia tahun 2013 menunjukkan bahwa anak usia 0 – 14 tahun berkisar pada 63,5 juta jiwa. Artinya hamper sepertiga penduduk di Indonesia adalah anak-anak (sebelum usia 18 tahun). Mereka adalah bagian dari yang disuarakan oleh Malala.
Jumlah anak yang tidak lulus sekolah dasar masih tetap memprihatinkan, yaitu sekitar 2,5 persen dari jumlah anak usia 7 -12 tahun. Dan yang tidak lulus SMP atau bahkan tidak bisa melanjutkan setelah sekolah dasar makin besar lagi persentasenya yaitu 12,3 persen. Itu berarti tidak kurang dari 2,5 juta anak di Indonesia tidak lulus SLTP atau tidak memperoleh hak mereka atas pendidikan dasar.
Di Indonesia, tentang hak anak untuk memperoleh pendidikan memang situasinya tidak sama dengan di kampong halaman Malala. Di sana ada masalah ideology dan kesetaraan jender. Di Indonesia tidak. Namun ketidak pedulian pemerintah dan korupsi yang terus merajalela, yang membuat masalah ini terus berlarut-larut.
Sudah lama dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, namun jutaan anak-anak tidak bisa mendapatkan akses belajar dengan baik. Pemerintah bahkan gagal menyediakan sarana pendidikan bagi semua anak-anak. Malala berkampanye tantang Global Education: adakah kementerian pendidikan nasional Indonesia mendengarnya?
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...