Publik Ragu Jokowi Mampu Selesaikan Kasus HAM Berat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebagian besar publik ragu pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu penculikan aktivis 1997—1998, demikian hasil riset yang dilakukan Komnas HAM bersama Litbang Kompas.
Untuk kasus penculikan aktivis 1997—1998, sebanyak 51,7 persen masyarakat meragukan pemerintah dapat menyelesaikannya dan sebanyak 34,5 persen merasa pemerintah dapat menyelesaikannya.
"Ketidakpercayaan terhadap Jokowi-Ma'ruf Amin bisa menyelesaikan kasus ini juga besar karena model kasusnya berbenturan dengan kekuasaan," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (4/12).
Untuk kasus pelanggaran HAM berat lain, seperti penembakan misterius 1982—1985, sebanyak 42,6 persen masyarakat ragu pemerintah dapat menyelesaikan dan 48 persen menilai pemerintah mampu menyelesaikannya.
Pandangan ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan kasus tersebut, paling banyak, yakni 57,8 persen karena kasus terlalu lama, disusul 28,9 persen karena merasa sudah buntu berhadapan dengan kekuasaan politik tertentu.
"Di sini soal kepentingan politik dan kasus terlalu lama menjadi hambatan paling serius," ucap Anam.
Selanjutnya, 27 persen karena pelaku atau korban sudah mati, 10,4 persen membebani pemerintah, dan sebanyak 3 persen menilai tidak memperbaiki masalah.
Masih berdasarkan riset tersebut, 99,5 persen masyarakat ingin pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui pengadilan, baik pengadilan nasional maupun internasional, bukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Dalam riset yang dilakukan pada 23 September - 4 Oktober 2019 itu, sebanyak 62,1 persen responden memilih pengadilan nasional untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, 37,4 persen ingin pengadilan internasional, dan sisanya 0,5 persen lain-lain.
"Hentikan menarasikan KKR. Angka 99,5 persen memilih diselesaikan melalui pengadilan. Lebih besar di pengadilan nasional," ujar Choirul Anam.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM di pengadilan, menurut dia, juga memungkinkan membuka cerita kebenaran peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu itu.
Sementara soal KKR, menurut Anam, saat pelaku mendapat maaf, korban maupun keluarganya belum tentu mendapatkan hak, seperti kompensasi dan pengembalian nama baik.
Riset yang dilakukan di 34 provinsi di Indonesia itu melibatkan 1.200 responden dengan kisaran usia 17—65 tahun. (Ant)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...