Putra Teroris Amrozi Jadi Pengibar Bendera 17 Agustus
LAMONGAN, SATUHARAPAN.COM - Sejumlah mantan teroris dan anggota keluarga mereka mengikuti upacara peringatan 17 Agustus di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, pada hari Kamis (17/08/2017). Di antara mereka adalah Zulia Mahendra, putra dari Amrozi, yang telah dihukum mati sebagai pelaku Bom Bali. Ia menjadi salah satu anggota pasukan pengibar bendera merah putih.
Pada upacara tersebut, sebagai komandan upacara didaulat seorang mantan pengikut ISIS. Sedangkan yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan dipilih Ali Fauzi, adik dari Amrozi yang kini memimpin Yayasan Lingkar Perdamaian.
Putra Amrozi, Zulia Mahendra (tengah) jadi salah seorang anggota pengibar bendera merah putih dalam upacara 17 Agustus di Lamongan, JAwa Timur (Foto: Fairfax Media)
Aksi mereka telah mendapat perhatian dari media internasional dari Australia, Fairfax Media, dan melaporkannya dalam liputan mereka. Perhatian ini wajar, karena di antara korban tewas tragedi Bom Bali adalah warga Australia.
Ketika berbicara kepada media Australia tersebut, hal pertama yang dikatakan Ali Fauzi adalah meminta maaf kepada rakyat Australia dan kepada keluarga 88 warga Australia yang menjadi korban Bom Bali.
Pada tahun 2008, Ali Fauzi memimpin upacara pemakaman Amrozi dan Muklas -- yang dieksekusi mati di Nusakambangan dan mengirimkan sms kepada keluarga mereka yang isinya berkata, "Mereka telah bersama Allah."
"Sekali lagi, saya meminta maaf atas apa yang dilakukan oleh saudara-saudara saya," kata Ali Fauzi kepada Fairfax Media.
"Mereka telah dieksekusi dan menghabiskan hidup mereka di penjara. Tindakan mereka merenggut nyawa banyak orang."
Ali Fauzi (paling kanan) memberi hormat kepada bendera merah putih yang sedang dinaikkan. (Foto: Fairfax Media)
Ali Fauzi belajar membuat bom antara tahun 2004 hingga 2007 dan masuk penjara karena terlibat aksi teroris di Filipina, tempat dimana ia ikut mendirikan pelatihan militer bagi ekstremis.
Fairfax Media mewawancarainya di Tenggulun, sebuah desa di Lamongan, tempat tinggal Amrozi.
"Pengeboman di seluruh Indonesia dapat dikatakan berawal dari sini," kata Ali Fauzi.
"Suatu masa ada 13 ton bahan peledak di sini sebelum disalurkan ke tempat lain, seperti Ambon dan Poso," tutur dia.
November tahun lalu ia mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian sebagai tempat rumah persinggahan dan kesempatan menemukan pekerjaan bagi mantan teroris. Diharapkan upaya ini dapat menangkal ideologi radikal.
"Sumpah setia saya kepada Indonesia nyata," kata Ali Fauzi.
"Sumpah saya adalah mencintai bangsa ini. Islam menghormati agama lain, bahkan seandainya pun Indonesia menjadi negara Islam tidak berarti menyerang agama lain. Itu yang saya yakini saat ini," kata dia.
Ali Fauzi menggambarkan terorisme sebagai penyakit yang membutuhkan dokter khusus. "Perlu tujuh tahun bagi saya untuk menjadi Ali Fauzi yang sekarang," ia berkata.
Enam bulan pertama proses deradikalisasi yang ia jalani --sebuah proses pendidikan dengan setengah paksaan oleh polisi Indonesia terhadapnya -- berjalan setelah ia dideportasi dari Filipna pada 2007.
"Pada awalnya saya menolak, saya tidak bisa berpindah dari keyakinan saya. Saya mengeluh, saya menolak Islam yang mereka Ajarkan yaitu Islam moderat. Setelah enam bulan saya menyadari saya tidak terlalu marah lagi."
Salah satu titik baliknya adalah ketika bertemu dengan korban-korban serangan teroris, termasuk Max Boon, seorang Belanda, yang kehilangan kakinya pada 2009 pada saat pengeboman Hotel Marriott di Jakarta.
"Saya meminta maaf kepadanya. Dia seorang Katolik dan dia berkata kepada saya,'Saya sudah memaafkan pelakunya, apalagi Anda.' Jika dibalik, jika saya di posisi dia, saya kira saya tidak akan memaafkannya dengan mudah."
Ali Fauzi mengakui keyakinannya yang dulu sangat salah, bahwa orang kafir harus dibunuh dimanapun mereka berada.
Misi Lingkar Perdamaian adalah untuk menyediakan komunitas baru bagi mantan teroris untuk mencegah mereka kembali ke jaringan lama mereka karena mereka tidak memiliki alternatif lain.
"Agar mereka bergabung dengan yayasan bukanlah momen abrakadabra, dimulai saat mereka berada di penjara, saya mengunjunginya, saya membantu masalah yang mereka hadapi, finansial, keluarga mereka. Begitu mereka dibebaskan, kami membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Sejauh ini telah membantu tujuh mantan teroris untuk mendapatkan pekerjaan dengan teman bisnis saya. Masih jauh jalannya," kata dia.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius bulan lalu meresmikan sebuah masjid dan pusat pembelajaran Alquran di Tenggulun, yang akan memberitakan Islam moderat.
"Secara nasional ada 560 eks-terorisme yang menjadi narapidana," katanya kepada Fairfax Media. "Artinya anak-anak mereka, istri mereka, komunitas mereka telah terkena radikalisme."
Dia mengatakan bahwa Lamongan adalah pusat terorisme namun berkat adanya Yyayasan Lingkar Perdamaian, "sekarang ada 37 eks-terpidana terorisme ada di pihak kita."
"Secara keseluruhan mereka memiliki sekitar 100 anak. Dapatkah Anda bayangkan berapa banyak nyawa yang bisa kita selamatkan dengan melakukan pendekatan ini?" kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...