Raih Gelar Doktor Berkat Penelitian Metode Belajar Siswa
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Model belajar efektif untuk menghasilkan prestasi belajar yang optimal selain mempertimbangkan sesuatu yang bersifat teoretis, juga perlu mempertimbangkan hal-hal yang bersifat realistis. Tantangan pun muncul bagi siswa usia sekolah di era teknologi informasi saat ini. Siswa dituntut melakukan konstruksi terhadap semua informasi yang ada.
Jika tidak melakukan penyaringan terhadap banyak dan beraneka ragam informasi yang masuk, maka informasi tersebut seolah-olah hanya mengisi penuh memori siswa tanpa terjadi pengendapan, pemilahan, dan pemanfaatan informasi secara optimal. Jika hal itu benar-benar terjadi, informasi yang masuk tidak akan banyak memberikan manfaat.
"Pembelajaran di sekolah saat ini juga sudah banyak melibatkan peran teknologi informasi yang mengandaikan setiap siswa memiliki keaktifan dalam belajar," ujar Titik Kristiyani, MPsi, di Auditorium G-100 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), pada Kamis (14/7).
Titik mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka Program S3 untuk memperoleh gelar doktor psikologi. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu berhasil mempertahankan disertasinya berjudul "Dari Trilogi ke Ekalogi: Dinamika Sumbangan Motivasi Belajar, Metakognisi, dan Strategi Kognitif bagi Prestasi Matematika Siswa Kelas IX SMP".
Dari penelitiannya terhadap siswa-siswi SMP kelas IX di Kotamadya Yogyakarta dengan menggunakan tiga skala psikologis, yaitu Skala Motivasi Belajar, Skala Metakognisi, dan Skala Strategi Kognitif, ia berkesimpulan bahwa dalam mempelajari matematika, rupanya bentuk evaluasi belajar yang digunakan tidak selalu menuntut penggunaan strategi kognitif mendalam. Strategi kognitif mendalam itu pun tidak memediasi baik pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi matematika, maupun pengaruh metakognisi terhadap prestasi matematika.
"Tidak berperannya penggunaan strategi kognitif mendalam dikarenakan banyaknya soal yang disajikan untuk siswa-siswa kelas IX, termasuk Tes Pendalaman Materi (TPM) Matematika itu soal-soal repetisi, baik di sekolah maupun luar sekolah, di kelas bimbingan tes atau les privat. Soal-soal repetisi itu bukanlah tugas baru yang menuntut penggunaan berpikir kritis, sehingga tidak membutuhkan strategi kognitif mendalam," ia mengingatkan.
Titik menambahkan, siswa yang mengikuti les di luar sekolah memiliki motivasi belajar, metakognisi, dan prestasi matematika lebih tinggi dibanding siswa yang tidak mengikuti les. Artinya, kegiatan dan mentor les telah berperan memberikan dukungan bagi perkembangan kognitif (scalfolding) para siswa remaja.
"Dalam hal ini, sekolah yang seharusnya menjadi sarana pencetak agen pembelajar mandiri , dikalahkan fungsinya oleh lembaga pendidikan di luar sekolah. Karena itu, model trilogi yang disusun sejak awal penelitian pun bergeser," ia memaparkan.
Melihat tidak berperannya strategi kognitif mendalam akibat banyaknya repetisi soal-soal yang diberikan kepada siswa, Titik merekomendasikan kepada pihak sekolah agar evaluasi belajar yang diberikan lebih mengungkap pemahaman mendalam siswa, bukan kemampuan menghapal jawaban.
Bagi pembuat soal-soal ujian, Titik berharap lebih banyak menuntut penggunaan deep learning, yakni dengan menghadapkan masalah-masalah baru yang menuntut siswa untuk berpikir lebih kritis. (ugm.ac.id)
Editor : Sotyati
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...