Rakyat Irak Protes Pemerintah Yang Korup
BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM – Ribuan orang pengunjuk rasa bentrok dengan polisi anti huru-hara di Baghdad, ibukota Irak, hari Kamis (3/10), seperti diberitakan Iraqi News. Ini adalah demonstrasi hari ketiga dan telah menewaskan sedikitnya 28 orang.
Pemerintah memberlakukan jam malam, dan demonstran menentangnya. Polisi menggunakan serangan gas air mata, dan tembakan kepada mereka berkumpul dengan truk. Massa amarah mereka pemerintah, karena tinginya korupsi, pengangguran, dan layanan publik yang buruk oleh pemerintahan Perdana Menteri Adel Abdel Mahdi.
Saat senja turun di Baghdad, jumlah orang yang berkerumun di sekitar kantor kementerian perminyakan dan industri menjadi banyak. Mereka berbaris menuju lapangan Tahrir. "Kami akan terus berjalan sampai pemerintah jatuh," kata Ali (22 tahun), seorang lulusan universitas yang menganggur, seperti dikutip AFP.
"Saya tidak punya apa-apa selain 250 lira (setara dengan 20 sen dolar AS) di saku saya sementara pejabat pemerintah memiliki jutaan," katanya.
Sebagian besar demonstran membawa bendera Irak, dan ada yang mengibarkan bendera bertuliskan nama Hussein, cucu Nabi Muhammad dan tokoh yang dihormati dalam Islam Syiah.
Tiga hari demonstrasi telah menyebabkan 28 orang tewas, termasuk dua petugas polisi, dan lebih dari 1.000 orang terluka. Lebih dari setengahnya adalah korban bentrokan di kota Nasiriyah, di mana enam pemrotes ditembak mati dan belasan lainnya terluka pada Kamis.
Demonstrasi dimulai hari Selasa di Baghdad, kemudian menyebar ke selatan yang sebagian besar berpenduduk Islam Syiah, termasuk provinsi Dhi Qar, Missan, Najaf, Basra, Wasit, dan Babel.
Beberapa kota memberlakukan jam malam, tetapi para pengunjuk rasa menentang dengan membanjiri jalan-jalan. Sementara itu, di wilayah utara yang didominasi Kurdi dan provinsi di barat yang didominasi Islam Sunni relatif tenang.
Demonstrasi massa di wilayah selatan lebih dari setahun yang lalu didorong oleh keluhan akibat kekurangan air yang parah yang menyebabkan krisis kesehatan yang meluas. Sejak itu warga di provinsi selatan menuduh pemerintah pusat gagal mengatasi kesenjangan yang parah, utamanya pengangguran pada kaum muda.
Ketegangan diperburuk oleh penutupan kantor-kantor pemerintah di Baghdad dan seruan oleh seorang ulama, Moqtada al-Sadr untuk menggelar demonstrasi.
Sadr berada di belakang protes besar di Baghdad pada tahun 2016, ketika para pendukungnya menyerbu Zona Hijau, kawasan tempat tingal beberapa kementerian dan kedutaan besar.
Akses internet di Irak hampir mati, dan para demonstran berjuang untuk berkomunikasi satu sama lain atau memposting cuplikan dari bentrokan terbaru. Disebutkan, operator jaringan besar sengaja membatasi akses hingga sekitar 75 persen, menurut monitor keamanan siber NetBlocks.
Perserikatan Bangsa-bangsa, Uni Eropa, dan Inggris meminta agar Irak tenang. Namun kelompok hak asasi manusia, Amnesty Internasional, mengecam tanggapan aparat terhadap protes. "Sangat memalukan bahwa pasukan keamanan Irak berkali-kali berurusan dengan para pemrotes dengan tindakan brutal menggunakan kekuatan mematikan yang tidak perlu," kata Lynn Maalouf dari Amnesty.
Beberapa warga Irak mengatakan pada hari Kamis bahwa mereka menerima pesan teks dari kantor PM Abdel Mahdi yang memberikan nomor hotline, di mana pemrotes dapat menelepon untuk menyuarakan keluhan mereka.
Mahdi yang tidak berbicara langsung dengan para demonstran juga membuat marah warga, termasuk para tokoh yang menyalahkan kekerasan itu sebagai tindakan "agresor yang ... sengaja menciptakan korban".
Abdel Mahdi berkuasa pada Oktober 2018 sebagai kandidat konsensus, setelah demonstrasi tahun lalu secara efektif mengakhiri peluang mantan PM Haider al-Abadi untuk masa jabatan kedua.
Dia berjanji mereformasi lembaga-lembaga yang tidak efisien, memberantas korupsi dan memerangi pengangguran. Namun janji-janji itu tidak terpenuhi dan telah mendorong unjuk rasa pekan ini.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...