Ramadan Di Myanmar, Perempuan Tak Bebas Salat di Masjid
YANGON, SATUHARAPAN.COM - Menjalankan ibadah tarawih di masjid saat bulan Ramadan merupakan kemewahan bagi para perempuan di Myanmar karena sebagian besar masjid tertutup bagi mereka. Jangankan untuk beribadah, masuk ke dalam masjid pun tidak diijinkan.
Di Myanmar, masjid-masjid tertutup bagi perempuan tidak hanya pada saat Ramadan, tetapi juga pada bulan-bulan lainnya. Padahal di negara ini amat mudah menemukan masjid, terutama di Ibu Kota Yangon.
Hampir di setiap Township atau setingkat dengan kecamatan memiliki masjid. Bahkan banyak juga township yang memiliki lebih dari satu masjid. Meski demikian, hanya segelintir masjid yang menerima jemaah perempuan.
U Aye Lwin, salah satu pemimpin Islamic Centre Myanmar mengatakan jumlah masjid di Yangon lebih dari 100. Namun, yang terbuka bagi kaum hawa tak lebih dari enam masjid.
“Jangankan untuk salat, hampir semua masjid di Myanmar bahkan tidak mengijinkan perempuan masuk. Para imam dan guru agama di sini memiliki ide yang konservatif,” kata Aye Lwin.
Pemahaman Konservatif
Aye Lwin mengatakan ide Islam konservatif ini diadopsi dari India, tempat para imam dan guru agama di Myanmar belajar, yang menempatkan perempuan untuk beribadah di rumah.
“Mereka mengutip hadis yang berbunyi tempat terbaik bagi perempuan untuk salat adalah di rumah,” kata Aye Lwin.
Padahal, menurut Aye Lwin, di banyak tempat suci umat Islam seperti Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah, perempuan diijinkan masuk dan salat di dalamnya.
“Meski mereka menyaksikan kondisi itu ketika bepergian ke tempat suci umat Islam dan beribadah haji, tetap saja tak ada kondisi yang berubah di Myanmar,” kata Aye Lwin,
Para perempuan pun, menurut dia, lebih banyak menerima ide tersebut meski mereka tahu di Mekah dan Madinah mereka boleh salat di masjid.
Banyaknya imam dan ustad dari Myanmar yang belajar di India ini tidak lepas dari faktor sejarah.
Myanmar pernah menjadi salah satu provinsi India di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Myanmar praktis tunduk kepada Inggris hampir 100 tahun, sejak 1823 sampai merdeka pada 1948.
Ketika berada dalam jajahan Inggris, para imigran dari India banyak berdatangan ke Myanmar, baik yang beragama Islam ataupun Hindu. Tradisi belajar agama di India pun masih dilakukan hingga kini.
Aye Lwin mengaku tidak mudah mengubah pemahamam konservatif yang sudah melekat tersebut.
Dia mengatakan butuh waktu bertahun-tahun dan alasan yang sangat kuat untuk mengubah pemahaman para imam dan pengurus masjid.
Tetapi Aye Lwin mengatakan perubahan pemahaman tersebut bukan mustahil, seperti yang dilakukan terhadap imam dan pengurus masjid yang berada di dekat kediamannya di pusat Kota Yangon.
“Mereka akhirnya dapat menerima ide tersebut, tetapi memang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan mereka agar mau membuka pintu bagi perempuan di masjid, tak mudah memang,” jelas dia.
Berbuka Puasa di Masjid
Pengalaman tidak boleh masuk ke masjid juga dialami ketika berada di Yangon pada awal Ramadan tahun ini. Penjaga pintu masjid sama sekali tidak mengijinkan perempuan untuk masuk untuk menunaikan salat.
Setelah ditolak masuk di beberapa masjid, akhirnya Aye Lwin sampai di salah satu masjid yang berada di kawasan Pansondan Road. Seorang penjaga pintu di Masjid Petchampek meminta dia menuju ke salah satu pintu di depan bangunan Islamic Hall yang berada di sebelah masjid yang dijadikan ruang salat bagi perempuan.
Di depan Islamic Hall tampak beberapa perempuan tengah berdiri di depan gerbang yang masih terkunci. Rupanya pintu gerbang hanya dibuka setengah jam menjelang waktu salat.
Para perempuan tersebut tampak menenteng sebuah keranjang belanja berbahan plastik yang berisi makanan dan buah-buahan.
“Kami akan di sini sampai buka puasa, dan langsung melakukan tarawih jadi bawa bekal makanan,” jelas Than Thim Mai, seorang Jemaah perempuan.
Ketika pintu gerbang dibuka, para perempuan yang sebagian besar berusia di atas 50 tahun ini langsung menuju masjid dan berwudhu. Setelah berwudhu, seorang perempuan tampak mengeringkan wajahnya dengan handuk yang tergantung di jendela.
Mereka lalu memilih tempat salat di tempat paling depan. Tidak seperti di Indonesia, para perempuan itu tak punya aturan saf. Dari sekitar 20 orang yang salat Ashar mereka memilih tempat sesukanya dan tidak ada keharusan berdampingan dengan jemaah lain.
Bangunan yang dijadikan ruang salat bagi perempuan ini beralaskan plastik. Di bagian depan ruang salat yang ditutup dengan tirai tampak tumpukan karung dan barang, kotor dan tidak terawat.
Meski demikian, beberapa perempuan mengaku tidak mempermasalahkan kondisi bangunan, sepanjang mereka diijinkan untuk dapat beribadah di masjid yang merupakan kesempatan langka bagi sebagian besar perempuan muslim di Myanmar. (bbc.com)
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...