Ratusan Ribu Rakyat Brasil Demo Tuntut Pemakzulan Presiden
RIO DE JANEIRO, SATUHARAPAN.COM - Ratusan ribu pengunjuk rasa (sebelumnya polisi sempat mengatakan satu juta) turun ke jalan di kota-kota di seluruh Brasil pada hari Minggu (15/3) untuk mengekspresikan kemarahan mereka pada Presiden Dilma Rousseff. Hal ini telah meningkatkan tekanan politik kepadanya di saat presiden dari sayap kiri itu bergulat dengan berbagai serangan dan tantangan, termasuk ekonomi negeri itu yang terperosok ke dalam stagnasi, serta serangkaian skandal korupsi serta pembangkangan dari figur-figur kuat di koalisi pemerintahannya.
The New York Times melaporkan, unjuk rasa tersebut berlangsung bertepatan dengan peringatan pembentukan kembali demokrasi di Brasil 30 tahun lalu, setelah kediktatoran militer yang panjang. Lautan manusia ini mencerminkan meningkatnya kekecewaan kepada Rousseff setelah mantan eksekutif di Petrobras, perusahaan minyak nasional milik Pemerintah, mengungkapkan skema yang rumit, di mana mereka mengatakan telah menyalurkan suap berskala besar dari kontraktor-kontraktor kepada tim kampanye Rousseff pada tahun 2010, selain memperkaya diri mereka sendiri dan legislator pendukung Rousseff.
Skandal tersebut secara kebetulan terjadi ketika dulu Rousseff memimpin dewan direktur perusahaan. Meskipun tidak ada kesaksian yang mengklaim bahwa dia secara pribadi mendapat keuntungan dari skema suap itu, seruan untuk pemakzulan dirinya telah terdengar lebih keras.
Analis politik dan bahkan beberapa lawan politik Rousseff mengakui kemungkinan pemakzulan masih sangat jauh. Namun dengan turunnya secara drastis tingkat dukungan kepadanya, manuver Rousseff tampaknya semakin terbatas untuk menangani berbagai masalah yang mendesak.
Kekhawatiran semakin besar atas perekonomian yang lesu dan diperkirakan akan mengalami kontraksi tahun ini. Booming ekonomi Brasil yang terjadi beberapa tahun lalu kini tinggal memori. Mata uang Brasil, real, yang dulu pernah kuat, kini sudah anjlok 23 persen terhadap dolar tahun ini saja, karena investor mengurangi eksposur mereka terhadap perekonomian Brasil.
Inflasi telah naik ke level tertinggi dalam hampir satu dekade dan orang yang kehilangan pekerjaan meningkat. Sebagian disebabkan oleh skandal Petrobras yang menggoyang industri minyak Brasil, yang juga telah terguncang oleh anjloknya harga minyak bumi dunia.
"Jika ada pencurian di sekeliling Rousseff dan mereka menjarah Petrobras, maka, ya, presiden harus bertanggung jawab," kata Joana Simoes Lopes (40), perancang busana yang merupakan salah satu pengunjuk rasa di distrik Copacabana pantai di Rio de Janeiro. "Dia harus mengundurkan diri karena memalukan."
Menunjuk meningkatnya polarisasi, beberapa pendukung terkemuka Rousseff menilai unjuk rasa ini hanya merupakan cermin ketidakpuasan kalangan elite tertentu terhadap Rousseff, dan bukan unjuk rasa yang berbasis luas.
Berbeda dengan para pemimpin yang merespons meningkatnya perbedaan pendapat dengan membalas kritik serta menerjunkan pasukan keamanan, Rousseff telah mengambil pendekatan yang relatif tidak konfrontatif. Sementara dia telah mengakui terjadinya korupsi di Petrobras, dia berpendapat tidak ada dasar untuk impeachment.
"Di negeri ini, kita semua memiliki hak untuk protes," Rousseff (67), mengatakan dalam sebuah video yang di-posting pada akhir pekan di halaman Facebook-nya di mana dia menyinggung masa lalunya sebagai gerilyawati yang menentang kediktatoran yang membatasi kebebasan sipil, termasuk demonstrasi jalanan.
Kendati demikian, tantangan yang dihadapi Rousseff tidak ringan. Rousseff, ekonom profesional yang tidak memiliki bakat politik membuat kesepakatan seperti mentor dan pendahulunya, Luiz Inacio Lula da Silva, telah memunculkan kekhawatiran bagaimana ia menghadapi perselisihan dengan Partai Gerakan Demokrasi, partai berhaluan tengah yang besar, yang dikenal sebagai PMDB, yang merupakan jangkar koalisinya.
Para pemimpin PMDB, yang mengendalikan kedua majelis Kongres, marah setelah Mahkamah Agung menyatakan bahwa mereka menerima uang dari skema suap Petrobras. Mereka menyalahkan Rousseff karena Jaksa Agung yang berada dalam wewenang pemerintahannya, terus mengintensifkan penyelidikan. Karenanya para legislator ini mengancam untuk memblokir undang-undang yang bertujuan untuk memperkuat langkah-langkah penghematan yang tidak populer.
Di luar ruang kekuasaan di ibu kota, Brasilia, survei opini publik yang dilakukan Datafolha, perusahaan jajak pendapat di Brasil, menunjukkan dukungan kepada Rousseff menurun menjadi 23 persen dari 42 persen pada akhir 2014. Jajak pendapat, yang dilakukan pada awal Februari dengan wawancara dari 4.000 orang, memiliki margin sampling error plus atau minus 2 poin persentase.
Kendati diakui ekonomi Brasil memiliki fondasi lebih baik daripada negara tetangga seperti Argentina dan Venezuela, suasana krisis menjalar dan terus diembuskan oleh para kalangan politik mapan, yang membenci gaya manajemen top-down Rousseff dan mempertanyakan keengganannya untuk mengakui bahwa kebijakan memperluas peran pemerintah dalam perekonomian menjadi penyebab beberapa masalah yang dihadapi Brasil.
Beberapa analis politik mencoba membuat perbandingan yang terjadi pada Rousseff dengan periode yang bergejolak dalam awal 1990-an, ketika skandal korupsi memaksa Fernando Collor de Mello mengundurkan diri sebagai presiden dalam upaya untuk menggagalkan percobaan impeachment padanya. Hampir setiap presiden sipil lainnya sejak tahun 1980-an telah menghadapi panggilan untuk pemakzulan, tapi jarang yang memiliki momentum yang dibangun secepat untuk Rousseff.
"Protes ini merupakan upaya untuk melepaskan salah satu simpul terbesar krisis: ketidakmampuan presiden yang paling tidak siap berdemokrasi untuk menangani proses yang paling sulit bagi Brasil dalam 30 tahun terakhir," kata Fernando Gabeira, penulis yang dihormati dan pendiri Partai Brasil Hijau.
Meskipun demikian, Rousseff dan Partai Pekerja yang memerintah masih memiliki dukungan kuat. Banyak penduduk Brasil yang telah keluar dari kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena program kesejahteraan sosial pemerintah, tetap setia kepada Rousseff, yang memenangkan pemilihan ulang pada Oktober lalu.
"Tidak ada bukti untuk menghapus Dilma dari kursi kepresidenan, jadi biarkan dia menyelesaikan masa jabatannya," kata Kelly Molina Porto (33), pedagang kaki lima yang menghadiri unjuk rasa kecil pada hari Jumat, untuk mendukung presiden. "Dia dipilih secara demokratis."
Pada saat yang sama, yang lain mengatakan mereka telah bosan menyaksikan evolusi Partai Buruh yang berhaluan kiri, dari sebuah organisasi pemberontak yang mengkritik korupsi yang merajalela dalam sistem politik Brasil menjadi pembela kaum mapan terhadap tuduhan skandal suap terbesar sepanjang sejarah negara itu.
"Perekonomian sepenuhnya dikuasai mereka, dan mereka tidak peduli apakah hasilnya untuk Brasil," kata Laerte Alves Machado (61) insinyur sipil di antara para pengunjuk rasa di São Paulo, mengacu pada Partai Pekerja. "Mereka hanya ingin tetap berkuasa."
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...