Ratusan WNA Jadi Korban Perbudakan di Kepulauan Aru
AMBON, SATUHARAPAN.COM – Ratusan anak buah kapal (ABK) asing yang bekerja di PT Pusaka Benjina Resources (PBR) dibawa polisi ke Tual dari Benjina, Maluku. Diduga mereka korban perbudakan. Pemerintah Indonesia akan mendeportasi ABK asing ini.
Perbudakan nelayan di Indonesia menjadi perbincangan publik setelah Kantor Berita Associated Press Rabu (25/3) lalu menyiarkan hasil investigasi selama satu tahun mengenai nasib ribuan pekerja yang dipaksa mencari ikan oleh PT Pusaka Benjina Resources, perusahaan penanaman modal Thailand di Indonesia.
Dalam artikel berjudul judul Was Your Seafood Caught By Slaves itu, dikisahkan para korban dari Myanmar, Kamboja, dan Thailand, itu dipaksa bekerja dalam kondisi menyedihkan oleh seorang kapten kapal asal Thailand. Organisasi Internasional untuk Migrasi menduga bahwa jumlah pekerja paksa bisa mencapai lebih dari 4.000 orang.
Mereka dipaksa bekerja 20-22 jam sehari tanpa hari libur dan mereka minum dari air kotor. Jangankan upah yang dijanjikan, sekadar makan yang pantas saja tidak diberikan.
Dari hasil investigasi Associated Press, ikan dari PT Pusaka Benjina Resources—diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007— memang tidak mungkin dilacak karena secara ilegal dikirim ke Thailand. Di Negeri Gajah Putih itu, ikan-ikan tersebut kemudian bercampur dengan produk legal untuk diolah pengusaha setempat sebelum diekspor.
Thailand sendiri negara eksportir ikan ketiga terbesar di dunia dan mempunyai pangsa pasar besar di Amerika Serikat.
Laporan Associated Press kemudian segera ditanggapi sejumlah pemerintahan negara Asia Tenggara. Pada Kamis (2/4), sejumlah pejabat Indonesia, Duta Besar Thailand untuk Indonesia Paskorn Siriyaphan bersama Wakil Kepala Kepolisian Letjen Siridchai Anakeveing berkunjung ke Ambon dan Dobo serta Benjina guna melakukan investigasi.
Deportasi
Sebanyak 319 WNA yang dievakuasi oleh Tim Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tual Kementerian Kelautan dan Perikanan dan TNI AL dari Benjina, Kepulauan Aru ke Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual, masih menunggu proses deportasi.
Pada Minggu, ratusan warga asing asal sejumlah negara ASEAN itu mendapat pengawalan aparat dan juga tim medis dan aparat TNI AL serta Polres Maluku Tenggara.
Mereka dievakuasi dari perusahaan Pusaka Benjina Resources (PBR) ke PPN Tual pada Jumat (3/4) dengan menggunakan enam kapal ikan yang dikawal dua kapal patroli, yakni KM Hiu Macan milik PSDKP Tual dan KRI Pulau Rangga 711 milik TNI AL.
Menurut Kepala Stasiun PSDKP Tual Mukhtar A Pi, 319 WNA tersebut berasal dari Myanmar sebanyak 253 orang, Kamboja (58), dan Laos (8). Mereka dievakuasi ke PPN Tual karena diduga telah menjadi korban perbudakan oleh PBR.
“Mereka akan kita pulangkan ke negara asal masing-masing,” katanya.
Seorang WNA asal Myanmar bernama Yeen mengaku selama ini disuruh kerja keras dengan imbalan yang tidak setimpal dengan keringat yang dikeluarkan.
Menurut dia, kalau ada buruh yang sakit pun tidak diberikan obat, padahal ada “rumah suntik” dan dokter.
Evakuasi ratusan WNA yang bekerja di PBR itu dilakukan atas instruksi pihak kementerian kelautan dan perikanan.
Kepala PPN Tual Silvinus MC Joran menyatakan fasilitas PPN Tual untuk menampung sementara ratusan WNA itu cukup memadai.
Ia mengaku berkoordinasi dengan Lanal Tual dan Polres Maluku Tenggara untuk masalah keamanan, dan juga dengan pemerintah daerah setempat untuk masalah kesehatan dan pelayanan umum bagi para WNA tersebut.
Sebelumnya, tim kepolisian yang dipimpin oleh Wakil Kepala Polisi Thailand Letjen Siridchai Anakeveing telah memulangkan empat nelayan asal negara itu, yang sebelumnya menjadi anak buah kapal (ABK) perusahaan PBR.
Sekda Kepulauan Aru Arens Uniplaitta menyatakan pulangnya empat nelayan itu atas permintaan sendiri, sementara lebih dari 1.000 ABK lain yang juga berasal dari Thailand memilih tetap bekerja.
Susi Larang Impor Ikan Budak
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan larangan ekspor komoditas perusahaan perikanan PT PBR yang terindikasi melakukan praktik-praktik perbudakan atau tidak manusiawi terhadap tenaga kerjanya.
“Saya sudah mengeluarkan kebijakan bahwa ikan yang berasal dari PT PBR tidak boleh keluar untuk diekspor,” kata Susi Pudjiastuti di Jakarta, Kamis.
Selain itu, ujar Susi, pihaknya juga bakal menjerat perusahaan tersebut lebih besar lagi dengan tidak lagi menerbitkan Surat Izin Penangkapan Ikan dan Surat Izin Usaha Perikanan.
Menteri Susi memaparkan, praktik-praktik yang tidak manusiawi itu antara lain adalah mempekerjakan tenaga kerja yang berasal antara lain dari Kamboja dan Myanmar hingga mencapai 22 jam per hari.
“Itu saja sudah melanggar hak asasi pekerja dan bertentangan dengan aturan ILO (Organisasi Buruh Internasional),” katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan menyatakan perusahaan yang terindikasi terlibat praktik semacam itu merupakan kapal berbendera asing yang mempekerjakan ABK dari beberapa negara di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu, ia mengingatkan banyak tenaga kerja asing yang bekerja di Benjina tidak memiliki dokumen resmi seperti terkait keimigrasian yang seharusnya dimiliki warga negara asing yang bekerja di Indonesia.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta agar sebaiknya mencabut izin PT PBR di Kabupaten Kepulauan Aru bila terbukti terjadi praktik perbudakan manusia terhadap para anak buah kapal berkebangsaan Myanmar.
“Bila benar terbukti ada praktik seperti itu, pemerintah tidak perlu menutup pelabuhan perikanan di daerah itu sebab akan mematikan industri perikanan dan merugikan masyarakat serta pemerintah daerah,” kata Anggota DPRD Maluku Samson Atapary di Ambon, Selasa (31/3).
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah mengusulkan ke Kementerian Perhubungan untuk menutup pelabuhan perikanan di Benjina terkait atas dugaan sejumlah pelanggaran yang dilakukan perusahaan besar termasuk PBR. (Ant)
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...