Refleksi Akhir Tahun: Budaya Sadar Bencana Perlu Diutamakan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan pentingnya pengarusutamaan budaya sadar bencana.
Menurutnya, pengetahuan masyarakat mengenai bencana mulai tumbuh pascabencana tsunami Aceh tahun 2004 lalu. Pengetahuan kebencanaan meningkat signifikan, tetapi pengetahuan tersebut belum menjadi sebuah sikap dan perilaku.
“Secara umum budaya sadar bencana di masyarakat masih rendah. Kita masih sering mengabaikan aspek risiko bencana dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu mewujudkan budaya sadar bencana, mengingat jutaan masyarakat Indonesia terpapar potensi bahaya yang berujung bencana,” ujar Sutopo, hari Kamis (29/12), di Jakarta.
Ia mencontohkan, masih sangat minimnya kontruksi rumah tahan gempa yang dibangun masyarakat maupun swasta. Ia menilai, saat terjadi gempa korban berjatuhan dan berdampak besar pada pekonomian.
“Gempa M 6,5 di Pidie Jaya termasuk gempa menengah, tapi korbannya 103 jiwa meninggal, ratusan luka, lebih dari 11.000 rumah rusak dan kerugian ekonomi mencapai Rp 2,94 trilyun. Bandingkan dengan gempa M 7,8 dengan epicentrum di darat di New Zealand tetapi hanya menimbulkan korban dua jiwa meninggal dunia karena pemerintah dan masyarakat sangat taat terhadap building code bangunan tahan gempa,” katanya.
Sutopo mengatakan, bencana secara langsung juga telah menurunkan kualitas hidup masyarakat. Pada tahun ini, berbagai bencana menyebabkan sekitar 3,05 juta warga mengungsi dan 69.287 rumah rusak. Dari jumlah kejadian bencana, 92 persen didominasi bencana hidrometeorologi pada tahun ini, seperti banjir, longsor, dan puting beliung.
“Bencana dapat memicu peningkatan angka kemiskinan. Sebagian besar bencana menimpa masyarakat yang miskin. Bencana melanda daerah-daerah rawan bencana yang menyebabkan keluarga miskin meningkat karena gagal panen, kehilangan aset produksi dan terganggunya kehidupan sehari-hari,” ujar Sutopo.
Beberapa penelitian di daerah langganan bencana, menunjukkan bahwa keluarga miskin yang terkena bencana, kehidupannya lebih sengsara pascabencana. “Dapat dibayangkan apa yang dialami masyarakat di sekitar Sungai Bengawan Solo yang rata-rata lima kali banjir setiap tahun, dan di Sampang 15 kali setiap tahun.”
BNPB mencatat, 2.342 bencana terjadi sepanjang tahun 2016. Data itu menyebutkan, kejadian bencana tahun ini merupakan tertinggi sejak kurun waktu 14 tahun terakhir, yakni meningkat 35 persen dibandingkan tahun 2015.
"Dampak yang ditimbulkan bencana selama tahun 2015 cukup besar. Bencana menyebabkan 522 jiwa meninggal, 3,05 juta jiwa menderita dan mengungsi, sekitar 70.000 rumah rusak dan kerugian ekonomi mecapai puluhan trilyun rupiah," kata Sutopo.
Menyikapi tahun 2016, Sutopo menghimbau masyarakat untuk tetap optimis dalam penanggulangan bencana tahun depan. Kesiapsiagaan harus tetap menjadi prioritas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun 2017 nanti, Sutopo mengingatkan masyarakat bahwa potensi bencana hidrometeorologi patut diwaspadai pada Januari hingga April, kemudian November dan Desember.
“Bulan Juni hingga Oktober perlu diwaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Di sepanjang tahun juga waspada terhadap potensi gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api,” tuturnya.
Terkait dengan kebakaran hutan dan lahan (karhulta), tahun depan diprediksikan sebaran yang lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2015. Sutopo menegaskan perlu kewaspadaan pada wilayah-wilayah yang berpotensi ancaman karhulta seperti di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan. (PR)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...