Reformasi Gereja Berperan Penting dalam Banyak Hal
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Reformasi memiliki peran penting dalam mempercepat dan memodernisasi pandangan iman Kristen dalam banyak masalah, termasuk eksistensi kemanusiaan. Hal ini mengemuka dalam seminar mengenai hak-hak anak, kesehatan dan ketahanan pangan, nasib pengungsi, dan warisan ekumenis, pada Jumat (4/11) di Plaine de Plainpalais, Jenewa.
Seminar yang diselenggarakan World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia ini, merupakan bagian dari peringatan ulang tahun ke-500 reformasi gereja.
Reformasi dalam Hak Anak
Penasihat khusus mengenai hak-hak anak di WCC, Frederique Seidel, menjelaskan salah satu isi seminar tersebut yakni pemberian informasi mengenai hak-hak anak yang berfokus pada pencegahan kekerasan terhadap anak. Seidel mempresentasikan karya WCC dan sejumlah mitra gerejanya yang bertujuan mencapai peningkatan kesejahteraan anak-anak melalui berbagai proyek di tingkat lokal, nasional, dan dunia.
“Ada hubungan kuat antara yang kita kerjakan untuk mempromosikan hak-hak anak dan reformasi. Hal ini dengan memberikan banyak ruang untuk anak-anak dapat bersuara yang dapat kita adaptasikan dengan baik dalam tindakan gereja untuk kebutuhan dan realitas hari ini dan besok,” kata Seidel.
Hasil penelitian terbaru dari UNICEF (United Nations Children's Fund) atau Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi anak-anak, mengungkapkan setidaknya terdapat 1,5 miliar anak di seluruh dunia menderita kekerasan. Kurang dari sepuluh persen dari anak-anak hidup di negara-negara yang memiliki perlindungan hukum dari segala tindak kekerasan.
Pada September 2015, WCC menandatangani perjanjian kemitraan dengan UNICEF untuk bekerja sama dalam mendukung hak-hak anak, dengan fokus awal pengaruh kekerasan terhadap anak dan perubahan iklim. “Kekerasan terhadap anak dapat dicegah, dan jika kita bergabung, kita dapat mencapai banyak hal seperti yang sudah dilakukan gereja,” Seidel melanjutkan.
Reformasi Dalam Perubahan Doktrin
Editor senior WCC Theodore Gill mengatakan reformasi ditandai dengan perkembangan dalam budaya dan perubahan dalam pemikiran, seperti doktrin.
Saat memaparkan presentasinya tentang warisan gerakan ekumenis dia mengatakan: “Tiga hari setelah pernyataan bersama Gereja Lutheran dan Katolik Roma ditandatangani, pengaruh reformasi semakin menguat di Jenewa, dan hal itu membentuk kultur gereja, bangsa, dan dunia. Gereja oikoumene menggambarkan semangat pasca reformasi Jenewa karena gereja tersebut bekerja sama dalam menghargai dan perlindungan, kebebasan politik dan hak asasi manusi di seluruh dunia, kebebasan beragama, pendidikan, pelayanan dan kebebasan berekspresi sebagai warisan dari Dentière, Rousseau, de Staëhl, Voltaire, dan Dunant,” kata Gill.
Koordinator komunikasi dari Conference of European Churches (CEC), Erin Green, menjelaskan CEC adalah organisasi yang mewakili banyak denominasi gereja, baik yang mayoritas dan minoritas, dari berbagai perbedaan dan konteks keunikan.
“Saat ini penting untuk tidak sekadar merefleksikan mengenai akar sejarah Reformasi, tetapi juga mengenai arah pergerakan oikumene, dan bahwa tidak ada orang yang ditinggalkan di luar perjalanan kita bersama,” kata Green.
Reformasi dan Pengungsi
Katalina Tahaafe-Wiliams, Eksekutif Program WCC untuk Misi dan Penginjilan mengatakan peluncuran rencana tujuan reformasi di Jenewa merupakan peristiwa yang sangat simbolik dalam banyak hal, salah satunya fakta mengenai Jenewa yang dahulu menjadi tempat bagi para pengungsi politik, kata dia saat pembukaan lokakarya mengenai nasib pengungsi.
“Kita sering menanggapi krisis pengungsi, tetapi menangani akar permasalahannya tidak cukup hanya dengan berkolaborasi,” kata Tahaafe-Williams.
Dia menunjukkan banyak gereja dari Afrika, Timur Tengah, dan Eropa bekerja sama untuk mencari jalan dalam berkolaborasi dan bekerja membantu pengungsi.
“Kami ingin menantang pemerintah untuk lebih bijak mengidentifikasi penyebab perpindahan orang secara nyata, yang sering kali dilihat dari sudut ekonomi. Mengabaikan akar permasalahan dan tidak membantu mereka,” ucap Tahaafe-Williams.
Sementara itu wakil moderator dari Churches’ Commission for Migrants in Europe (CCME), Alfredo Abad, mengatakan nasib pengungsi bukan hanya masalah kemanusiaan, tetapi merupakan masalah keadilan.
Abad mengkhawatirkan akan semakin banyak orang di dunia menjadi pengungsi karena alasan ekonomi dan perubahan iklim. “Krisis yang nyata di Eropa bukanlah krisis pengungsi, ini mengenai kurangnya solidaritas,” kata Abad.
Direktur Departemen untuk Pelayanan Dunia di Lutheran World Federation (LWF), Maria Immonen, mengingatkan untuk merespons krisis pengungsi di Eropa setelah Perang Dunia II.
Dia menambahkan sejak saat itu LWF telah terlibat dalam setiap krisis kemanusian besar, dan menanggapi kebutuhan manusia di seluruh dunia.
“Jika menjadi pengungsi, rata-rata Anda akan menghabiskan waktu 17 tahun dalam kamp pengungsian. Dan situasi ini akan semakin memburuk. Ada 62 Juta pengungsi di dunia, dan jumlahnya akan semakin meningkat bila perang tetap berlanjut,” kata Immonen.
Manoj Kurian, Koordinator WCC Ecumenical Advovacy Alliance (EAA) menjelaskan Kekristenan memiliki pengaruh dalam berbagai hal terutama saat reformasi, yakni dalam perspektif kesehatan dan ketahanan pangan. “Reformasi menunjuk diakonia dan mengarahkan kebaikan kepada orang miskin sebagai tindakan pemuridan dan melihatnya sebagai tanggung jawab jemaat,” kata Kurian.
Kurian mengatakan reformasi mengubah paradigma tentang pendidikan kedokteran di Eropa karena selama berabad-abad, pendidikan kedokteran tidak sekadar dipahami fungsi dan fokus pelayanan kepada kesehatan semata, melainkan merupakan perkembangan dari sebuah orientasi pelayanan yang berusaha menjangkau yang tak terlayani. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...