Rekonsiliasi Konflik di Indonesia Masih Tahap Seremonial
DEPOK, SATUHARAPAN.COM - Rekonsiliasi konflik di Indonesia dinilai masih dilakukan pada tahap seremonial saja. Konflik antarpenganut agama seolah-olah selesai ketika pemuka agama bertemu dan saling berjabat tangan padahal permasalahan belum tuntas atau muncul problem lainnya karena akar di masyarakatnya belum selesai.
“Konflik antarpenganut agama di Indonesia, seolah-olah selesai ketika pemuka agama bertemu dan saling berjabat tangan,” kata Budi Hernawan peraih gelar Ph.D dari Australia Natsional University, dalam lokakarya bertajuk “Conflict Analyses Workshop” di Abdurrahman Wahid Center (AWC), Perpustakaan Pusat UI, Depok, Jumat (7/11) siang.
Lokakarya diselenggarakan oleh AWC, dengan menghadirkan tema “War and Peace”.
Upaya rekonsiliasi konflik yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia masih menyasar di pemimpin pihak yang bertikai, bukan di kalangan masyarakat.
“Pemerintah hanya menyelesaikan konflik pada kelompok pemimpin pihak yang bertikai. Konflik di Aceh seolah-olah terselesaikan dalam seremonial belaka, seperti kedua pihak yang bertikai menandatangani nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia. Padahal di Aceh muncul konflik baru, yaitu munculnya peraturan daerah syariah, yang membuat masyarakat akar rumput Aceh menderita,” tambah Hernawan.
Hernawan mengungkapkan membangun perdamaian (peace building) merupakan langkah terakhir dalam menyelesaikan konflik.
“Penyelesaian konflik harus dimulai dengan tiga langkah. Pertama, membuat perdamaian (peace making), dengan mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Kedua, menjaga perdamaian (peace keeping), menjaga proses perdamaian dengan intervensi oleh pihak luar. Ketiga baru memulai proses membangun perdamaian,” katanya.
Hernawan menambahkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggunakan paradigma yang salah dalam menyelesaikan konflik di dunia.
“PBB langsung menggunakan langkah membangun perdamaian dan tanpa melakukan langkah membuat perdamaian dan menjaga perdamaian di daerah konflik. Celakanya, cara berpikir itu digunakan oleh pemangku kepentingan dan diplomat di seluruh dunia,” kata Hernawan.
Sementara Mutiara Pasaribu, peserta lokakarya, mengungkapkan rekonsiliasi konflik di Indonesia belum berjalan dengan baik.
“Korban konflik di Indonesia, masih diabaikan. Pemerintah hanya fokus mendamaikan pemimpin pihak yang bertikai saja, bukan menyasar masyarakat akar rumput yang paling menderita akibat konflik,” kata Pasaribu.
Pasaribu menyatakan pemerintah harus memperhatikan korban konflik, dengan menyediakan akses-akses yang tercabut ketika pada masa konflik seperti akses kesehatan, pendidikan dan sosial.
“Pemikiran dari John P Lederach (Profesor kajian perdamaian di Notre Dome University) mengungkapkan rekonsiliasi konflik harus memperhatikan aspek kebenaran, pengampunan, keadilan dan perdamaian, jadi rekonsiliasi konflik tidak hanya selesai dengan nota kesepahaman dan acara silaturahmi antar-pihak yang bertikai,” kata Pasaribu.
Sesi lokakarya AWC berlangsung hingga 19 Desember 2014, dan diselenggarakan tiap dua pekan sekali. Lokakarya AWC menghadirkan tema-tema seputar rekonsiliasi konflik tiap sesinya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...