Resolusi Parlemen Eropa Serukan Pembebasan Aktivis Papua
BRUSSELS, SATUHARAPAN.COM - Parlemen Eropa menyambut baik pembebasan dengan jaminan aktivis politik Papua, Hosea Yeimo, dan Ismael Alua, yang ditahan dan didakwa sebagai pemberontak menurut KUHP Indonesia.
Sebelumnya keduanya ditangkap dan ditahan menyusul kegiatan politik damai yang mereka ikuti, yang menyebabkan setidaknya 528 orang, termasuk anak-anak, ditangkap pada 19 Desember 2016 di berbagai kota di seluruh Indonesia. Proses hukum kasus ini masih berlanjut dan jika terbukti bersalah, mereka bisa menghadapi ancaman hukuman penjara seumur hidup.
Parlemen Eropa menyatakan hal ini dalam resolusi yang dihasilkan oleh Sidang Paripurna hari ini (19/1) sebagai resolusi nonlegislatif. Resolusi ini menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM) di tiga negara. Ketiga negara itu adalah Indonesia, Republik Afrika Tengah (RAT) dan Burundi.
Selanjutnya, resolusi Parlemen Eropa menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia untuk mencabut semua tuduhan yang dikenakan terhadap semua aktivis Papua semata-mata karena mereka mempergunakan hak mereka untuk bebas berbicara dan mengungkapkan pendapat dengan damai.
Di bagian lain resolusi menyangkut Indonesia, Parlemen Eropa mengatakan "mengecam berkembangnya intoleransi di Indonesia terhadap etnis, agama dan jenis kelamin minoritas." Parlemen Eropa juga mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas kasus penistaan agama yang didakwakan kepada Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Lebih jauh, Parlemen Eropa menyerukan kepada pihak berwewenang di Indonesia untuk mengupayakan agar semua undang-undangnya, termasuk undang-undang tentang penistaan agama dan undang-undang tentang makar, selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional.
Parlemen Eropa merupakan forum penting bagi perdebatan politik dan pengambilan keputusan di level Uni Eropa. Anggota Parlemen Eropa dipilih langsung oleh pemilih di semua negara anggota untuk melayani kepentingan rakyat dalam pembuatan UU di Uni Eropa dan memastikan lembaga Uni Eropa lainnya bekerja secara demokratis.
Bukan kali ini saja Parlemen Eropa menyoroti dengan kritis masalah HAM di Papua. Tahun 2013, Uni Eropa menyuarakan keprihatinan mengenai laporan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan terhadap para demonstran di Papua pada sesi ketiga Dialog HAM EU-Indonesia .
Uni Eropa juga mengangkat rintangan kunjungan LSM, organisasi internasional dan wartawan ke Papua. Uni Eropa akan mendorong Indonesia untuk menerima permintaan untuk kunjungan oleh Pelapor Khus PBB tentang Kebebasan Berekspresi yang akan melingkungi situasi di Papua
Pada tahun 2003, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi yang intinya mendesak Pemerintah RI untuk segera menemukan solusi damai dalam menangani gejolak di provinsi Maluku, Aceh, dan Papua. Pada saat yang sama, mereka menegaskan mendukung keutuhan bangsa Indonesia.
Resolusi Parlemen Eropa kala itu ditandatangani 13 anggota Parlemen Eropa. Resolusi tersebut, sebagaimana dilansir dari Antara, mendesak Pemerintah RI untuk mengundang "special rapporteurs" (pelapor khusus) dari PBB untuk menyelidiki kasus-kasus penyiksaan warga sipil oleh TNI di Aceh dan Papua.
Resolusi tersebut diterbitkan setelah sidang Parlemen Eropa di Strasbourg, Prancis pada 16 Mei 2002, yang khusus membahas masalah penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Burundi
Terkait dengan Burundi, Parlemen Eropa menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi politik dan keamanan yang memburuk di Burundi. Parlemen Eropa mengutuk kekerasan yang terjadi di sana sejak 2015.
Mereka menyerukan pelaku harus dibawa ke pengadilan melalui penyelidikan menyeluruh dan independen dalam pelanggaran yang luas, yang meliputi kematian, penyiksaan, kekerasan yang ditargetkan terhadap perempuan, perkosaan kolektif, pelecehan dan pemenjaraan ribuan orang, pemindahan paksa ribuan orang serta penangkapan sewenang-wenang dan penahanan ilegal.
Parlemen Eropa sangat khawatir dengan lolosnya dua undang-undang, pada 23 dan 28 Desember 2016, yang memberlakukan kontrol yang lebih ketat pada LSM domestik dan internasional di negara tersebut.
Parlemen mendesak Otoritas Burundi untuk mempertimbangkan kembali keputusan mengadopsi undang-undang tersebut, dan mengingatkan mereka akan kewajiban untuk menjamin, melindungi dan mempromosikan hak-hak dasar warga negara sebagaimana diamanatkan oleh Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat'.
Republik Afrika Tengah (RAT) Terkait dengan RAT, Parlemen Eropa mengutuk keras pelanggaran HAM internasional di RAT, termasuk pembunuhan sewenang-wenang, kekerasan seksual, perlakuan tidak manusiawi dan agresi terhadap warga sipil dan pasukan penjaga perdamaian, serta hilangnya mata pencaharian dan hak milik mereka.
Mereka meminta pemerintah untuk meluncurkan penyelidikan segera dan tidak memihak, dan menghukum mereka yang bertanggung jawab.
Parlemen Eropa menyambut baik upaya Presiden RAT, Touadéra dan pemerintahannya untuk mendorong perdamaian dan rekonsiliasi di negara itu.
Parlemen Eropa mendorong pemerintah mengintensifkan upaya perdamaian, khususnya melalui dialog dengan kelompok-kelompok bersenjata.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...