Resolusi Tahun Baru
Tidak sedikit yang sudah lelah dengan resolusi tahun baru mengingat resolusi tahun lalu bisa jadi 50%, bahkan lebih, tidak tercapai dan kandas di tengah jalan.
SATUHARAPAN.COM – Selamat Tahun Baru 2019! Tahun baru selalu diwarnai dengan resolusi, sebuah tekad untuk mengisi tahun baru ini dengan sesuatu yang lebih baik. Namun, tidak sedikit yang sudah lelah dengan resolusi tahun baru mengingat resolusi tahun lalu bisa jadi 50%, bahkan lebih, tidak tercapai dan kandas di tengah jalan.
Bukan hanya Anda yang tidak berhasil mencapai resolusi tahun lalu, saya pun demikian. Bisa jadi kita menurunkan keteguhan kita untuk membuat sebuah resolusi baru, karena kegagalan-kegagalan kita. Bisa jadi kita menyerah dan tidak lagi menuntut diri kita terlalu tinggi, mengingat betapa sulitnya mencapai resolusi tersebut.
Sebagai murid Kristus, apakah kita harus menyerah dengan ketidakmampuan kita? Dalam Ibrani 12:1-2 tertulis: ”Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”
Pandangan John Piper
John Piper menjelaskan, kita seharusnya terus menanggalkan semua dosa yang merintangi kita. Bukan hanya dosa, tetapi beban, hal-hal yang memberatkan kita, yang membuat kita sulit maju, berlari dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Sebagai umat Allah, kita sudah dipilih dan diselamatkan, kuasa dosa sudah tidak lagi berkuasa atas kita. Karena itu yang perlu terus kita perjuangkan dan gumulkan adalah bagaimana kita semakin efektif maju dan semakin membuat nyata pengenalan dan kuasa kasih karunia Tuhan di dalam hidup kita.
Kisah Bangsa Israel yang keluar dari tanah Mesir bisa menjadi sebuah gambaran bagi kita semua. Selama 400 tahun Bangsa Israel dijajah oleh Mesir, bayangkan berapa generasi hidup sebagai budak, bayangkan bagaimana mental mereka. Mereka sudah terbiasa diperintah, tidak memiliki hak sebagai orang merdeka, mereka terbelenggu dalam penjajahan. Akan tetapi, Allah mengirimkan Musa untuk membawa Bangsa Israel keluar dan akan menuju kepada tanah perjanjian, di mana mereka akan menjadi umat pilihan Allah yang khusus, milik Allah, dipimpin oleh Allah.
Perjalanan Bangsa Israel menuju ke tanah Kanaan, tanah perjanjian, adalah sebuah perjalanan panjang. Sebuah perjalanan yang tentunya bukan kebetulan dirancang demikian, tetapi sebuah perjalanan panjang menjadi pembentukan Bangsa Israel yang bermental budak, menjadi Bangsa yang baru yang akan menjadi umat Allah milik Allah yang merdeka.
Sebuah perjalanan yang diwarnai dengan beragam campur tangan Tuhan, tetapi di situlah mereka semakin mengenal Tuhan, mengalami kuasa Tuhan yang perkasa menuntun dan membimbing mereka. Tidak ada sedikit pun usaha ataupun kemampuan Bangsa Israel yang bisa membuat mereka menjadi bangsa yang merdeka menuju tanah perjanjian. Semua karena anugerah Tuhan yang menopang. Bangsa Israel pun perlu berjalan dan tekun hidup dalam pimpinan dan petunjuk Tuhan.
Resolusi Jonathan Edwards
Jonathan Edwards (1703-1758)—seorang pengkhotbah, juga filsuf dan teolog di Amerika—menuliskan 70 resolusi ketika menjelang 19 tahun ketika bertugas sebagai pastor muda yang belum punya reputasi apa-apa. Dia menuliskan 70 resolusi itu antara tahun 1722-1723, dan bertekad untuk terus membaca ulang serta memeriksa dirinya apakah ia sudah menjalankan apa yang menjadi tekadnya.
Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana ia mengawali resolusinya, ”Memahami bahwa saya tidak dapat melakukan apa pun tanpa bantuan Tuhan, saya dengan rendah hati memohon kepada-Nya dengan rahmat-Nya untuk memampukan saya untuk menjaga resolusi ini, sejauh hal itu sesuai dengan kehendak-Nya demi Kristus."
Sebuah resolusi bukan didasari pada keyakinan akan kemampuan diri, tetapi sebuah kerendahan hati dan pengakuan bahwa ia tidak akan bisa melakukan semua resolusi itu dengan kemampuannya sendiri. Resolusi no. 26 menegaskan: ”Untuk mengusir semua yang saya temukan yang mengurangi kepastian saya akan kasih dan rahmat Tuhan.”
Dia mau terus hidup di bawah kepastian akan kasih dan anugerah Tuhan. Dan itu tidak membuatnya menjadi lembek dan pasif, tetapi dengan teliti dan disiplin, Jonathan Edwards memastikan anugerah Tuhan tidak menjadi sia-sia, tetapi tampak dalam hidupnya. Itulah keteguhan dan ketekunannya. Dengan tekad dan keteguhan hati, Jonathan Edwards ingin mengalami anugerah Tuhan yang akan memampukan dia menanggalkan dosa yang sudah tidak berkuasa atas hidupnya dan menjadikan hidupnya sebagai saksi bagaimana kuasa transformasi Allah bekerja.
Ia memahami sekali apa artinya diselamatkan dan ditopang oleh anugerah Tuhan, untuk itu dia berketetapan dalam resolusi no 8: ”Bertindak, dalam segala hal, baik dalam berbicara maupun melakukan, seolah-olah tidak ada yang pernah berdosa seperti saya; dan ketika saya menemukan dosa dalam diri orang lain, saya akan merasakan (setidaknya dalam pikiran & hati saya sendiri) seolah-olah saya telah melakukan dosa yang sama, atau memiliki kelemahan atau kegagalan yang sama seperti orang lain. Saya akan menggunakan pengetahuan tentang kegagalan mereka untuk tidak mempromosikan apa pun kecuali kerendahan hati—bahkan rasa malu—dalam diri saya. Saya akan menggunakan kesadaran akan keberdosaan dan kelemahan mereka hanya sebagai kesempatan untuk mengakui dosa-dosa saya sendiri dan kesengsaraan kepada Tuhan.” Sebuah resolusi yang sangat dikuasai oleh pengenalan akan anugerah Tuhan.
Perhatikan bagaimana resolusinya tentang pengenalan akan Firman Tuhan dan doa. Resolusi 28: ”Berketetapan: Untuk mempelajari Alkitab dengan mantap, dan terus-menerus, dan begitu sering, sehingga menjadi jelas—bahkan tampak nyata—bagi diri saya sendiri bahwa pengetahuan saya tentang Alkitab telah bertumbuh.”
Resolusi 29: ”Berketetapan: tidak pernah menganggap sesuatu sebagai doa, atau membiarkan sebuah doa berlalu, setiap petisi yang ketika saya menaikkannya saya tidak benar-benar berharap bahwa Tuhan akan menjawab; atau menyajikan apa pun sebagai sebuah pengakuan yang saya tidak berharap Tuhan akan menerimanya.”
Murid Kristus
Murid Kristus, sejatinya tidak pernah lelah melawan dosa dan menanggalkan dosa, serta teguh dalam perjuangannya untuk bertumbuh semakin mengenal Tuhan. Murid Kristus, yang sudah mengalami kasih karunia Tuhan dan memahami bagaimana dosa tidak, lagi punya kuasa atas dirinya, akan semakin bersemangat untuk menanggalkan kebiasaan-kebiasaan lama serta kebiasaan dosa yang membebani dirinya untuk melangkah maju.
Biarlah dalam menjejaki tahun baru ini, kita disemangati oleh Roh Kudus sendiri untuk terus memacu diri menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Selamat membuat resolusi dalam anugerah Tuhan!
Editor : Yoel M Indrasmoro
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...