Revolusi Mental demi Indonesia Rumah bagi Semua
SATUHARAPAN.COM – Jokowi telah sah menjadi Presiden ke-7 Republik Indonesia. Negara dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta yang tersebar di 13 lebih pulau yang terbentang dari Pulau Sabang sampai Merauke, Papua, dan terdiri lebih dari 300 kelompok etnis. Tentu tidak mudah memimpin bangsa sebesar ini dengan segala bentuk keberagamanannya. Pertanyaan besarnya adalah, apakah Jokowi dengan latar belakang “ndeso” dan sederhana ini mampu memimpin bangsa ini?
Di luar pertanyaan yang penuh keraguan itu, kegembiraan jelas terpancar saat hari monumental tanggal 20 Oktober 2014, saat Presiden ke-7 RI dilantik oleh DPR RI. Ratusan ribu manusia memadati sepanjang Sudirman sampai dengan Monas untuk merayakan kegembiraan dalam acara yang disebut pesta Rakyat. Semua orang dari seluruh kalangan “tumpek blek” dalam pesta tersebut. Kejadi ini menjadi pemecah rekor, di mana ada ratusan ribu manusia mengarak Presidennya ke Istana Negara. Mengutip yang dikatakan Jokowi dalam debat Capres Cawapres yang lalu, demokrasi adalah kegembiraan bukan ketakutan. Di momen inilah, Jokowi menunjukkan bahwa demokrasi adalah sebuah kegembiraan.
Demokrasi Kegembiraan
Kata ini jauh dari sejumlah definisi demokrasi yang selama ini kita pahami. Definisi demokrasi ini lahir dari seorang Presiden ke-7 RI. Kita semua bisa melihat secara langsung betapa kegembiraan ini mengalir dan tumpah ruah dengan adanya arak-arakan dan pesta Rakyat kemarin. Pun sampai pada konser inaugurasi yang dimotori oleh relawan Jokowi yang berprofesi sebagai musisi. Semua orang yang di sana gembira, pun kami yang hanya bisa menikmati kegembiraan melalui layar televisi. Di beberapa daerahpun, kegembiraan ini juga muncul dan kita bisa merasakan aura kegembiraan ini melalui media walau secara fisik kita tidak bersama dengan mereka.
Kegembiraan ini melahirkan haru yang sangat untuk beberapa orang, tepat di saat prosesi pelantikan Jokowi menjadi Presiden RI ke-7. Kelompok pengguna internet, atau lazim disebut “netizen” dengan antusias menyambut pemerintahan baru ini. Hastag (tagar) yang muncul #jokowipresiden yang mulai digunakan sejak 20 Oktober 2014 pagi jelang pelantikan menembus trending topics di Indonesia, bahkan di dunia (Kompas, 21 Oktober 2014).
Pasar pun juga bergembira atas lahirnya pemimpin baru ini. Indeks Harga Saham Gabungan (ISHG) sempat menembus level psikologis 5.100 pada 40 menit awal perdagangan di BEI. Nilai rupiah menguat naik 181 poin menurut kurs tengah BI. Sebuah harapan baru, kegembiraan ini akan diikuti dengan kebijakan ekonomi Jokowi ke depan.
Revolusi Mental dan Keberagaman Indonesia
Istilah revolusi mental menjadi sangat popular, saat Presiden ke-7 ini sering mengatakan dalam setiap kesempatan sebelum menjadi Presiden. Dalam konsep revolusi mental yang disebarkan kepada publik menjelang pemilihan capres cawapres yang lalu, konsep revolusi mental ala Jokowi ini berisi soal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Berbudi dan Pekerti Luhur serta Pendidikan Demokrasi dan Sadar Hukum. Melalui pilar tersebut, pemerintahan Jokowi berharap terjadi perubahan mental seluruh warga Negara melalui jalan revolusi. Tentu bukan barang yang mudah dilakukan dalam konteks Indonesia. Perlu disiapkan kabinet dan program untuk bisa mencapai output tersebut.
Walaupun Pancasila menjadi pilar tertinggi dalam konsep revolusi mental ala Jokowi, namun sepertinya belum terlalu jelas dan menjadi fokus pemerintahan mendatang soal keberagaman dalam konteks agama dan kepercayaan. Dalam visi misi Jokowi –JK yang secara resmi masuk ke KPU (www.kpu.go.id), ada sembilan agenda prioritas yang ingin dilaksanakan dalam pemerintahan ke depan. Salah satu agenda yang erat hubungannya dengan keberagaman ada di poin paling bontot, yaitu “Kami akan memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat Restorasi Sosial Indonesia”. Dalam hal ini, para pejuang toleransi bisa sedikit bernafas lega karena walaupun menduduki posisi paling akhir, soal keberagaman ini menjadi salah satu dari sembilan agenda prioritas pemerintahan ke depan.
Dalam komintmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan pemerintahan ke depan memiliki 42 poin prioritas yang akan dilakukan. Salah satu dari 42 poin tersebut berbunyi, “Kami akan memberikan jaminan perlindungan dan hak kebebasan dan berkeyakinan serta melakukan langkah-langkah hukum terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama”.
Jika revolusi mental yang hendak menjadi pondasi serta landasan dalam pemerintahan Jokowi ke depan, masih ada harapan untuk kehidupan keberagaman di Indonesia. Tertulis jelas dalam visi-misi dan agenda prioritas yang akan dilakukan ke depan. Jadi, tidaklah sesuatu yang utopis jika Jokowi disebut “The New Hope” dalam konteks Indonesia sekarang, juga dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kita akan melihat langkah-langkah progresif pemerintahan Jokowi ke depan dalam soal ini. Walaupun dalam pidato 7 menitnya pada pidato kerakyatan, tidak ada satupun kata yang keluar mengenai keberagaman, toleransi ataupun kebebasan beragama. Saatnya kita menarik diri, untuk menjadi mitra kritis Jokowi untuk mewujudkan Revolusi Mental demi Indonesia, Rumah bagi semua.
Penulis adalah penggiat keberagaman, bekerja sebagai Direktur Program JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen) Indonesia
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...